Kamis, 29 Januari 2009

Mencintai Nabi sall-Allahu ‘alayhi wasallam

oleh Syaikh Muhammad Hisyam Kabbani*

Nabi sall-Allahu ‘alayhi wasallam bersabda: “la yu’minu ahadakum hatta akuunu ahabba ilaykum min waalidihi wa aalihi wa an-naasi ajma’een.” Yang berarti, “Kalian tidak akan mencapai iman sejati sampai kalian mencintaiku; kalian harus mencintaiku lebih dari kalian mencintai orang tua kalian, diri kalian sendiri dan anak-anak kalian serta seluruh manusia.”

dalam sebuah suhbah (ceramah/diskusi keagamaan) di Islamic Educational Center, Fremont, California, 27 Januari 2003.

[dimulai dengan pendahuluan oleh Professor Muhammad Ahmad]

Kemudian Mawlana Syaikh Hisyam:

Saya datang sebagai pendengar.

A’uudzu billahi minasy syaithanirrajiim
Bismillahirrahmanirrahim

Nawaytul arba’iin,
Nawaytul I’tikaaf,
Nawaytul khalwa,
Nawaytul ‘uzla,
Nawaytus suluuk,
Nawaytul riyadhah lillahi ta’ala al-`adhiim fii hadzal masjid

Suatu kehormatan bagi saya untuk datang dan mendengar nasihat tadi, bukan suatu kuliah, tapi suatu nasihat dari Professor tentang cinta pada Sayyidina Muhammad sall-Allahu `alaihi wasallam. Saya benar-benar datang hanya untuk mendengar. Saya tidak merasa bahwa saya perlu untuk menambahkan apa pun, karena ketika kecintaan pada Nabi sall-Allahu `alaihiwasaallam muncul dan datang, kita pasti akan merasa terbakar dalam cinta itu. Jadi, saya tidak tahu lagi apa yang mesti dikatakan, dan jika saya berbicara maka akan memakan banyak waktu. Berapa menit kalian ingin saya untuk bicara?

[HADIRIN: 60 menit!, sepanjang malam!…beberapa orang telah datang dari Sacramento!]

Ok, hanya untuk 15, 20 menit.

“Ya Sayyidi ya Rasulallah.” Baru saja saya mendengar apa yang ada dalam nasihat yang telah diberikan oleh Professor. Oleh Prof. Dr. Muhammad Qadri tentang perlunya mencintai Nabi sall-Allahu ‘alaihi wasallam. Tak perlu untuk mengucapkan Professor, atau doktor, Muhammad Ahmad adalah cukup untuk suatu kehormatan. Alhamdulillah.

Adalah suatu fakhr (kesombongan) untuk memberi nama setelah Sayyidina Muhammad sall-Allahu `alaihi wasallam. Kita bukan Wahabi, yang bangga dengan kertas yang kita peroleh dari universitas. Siapa yang peduli akan itu?

Saya mendengar bahwa saat permulaan, saat majelis ini dimulai, hanya ada dua orang yang datang dan mendengar. Setelah itu, secara perlahan jumlahnya bertambah dan kita sekarang melihat ratusan orang di sini. Hal ini menunjukkan bahwa kalian berada di jalan yang lurus. Saya berada di Houston kemarin dan saya memberikan nasihat di Masjid Ghawth A’zham. Dan masya Allah, begitu banyak orang dari Tariqat Al-Qadiriyyah mengundang saya ke acara besar itu dan kalian pun bisa merasakan perasaan yang sama akan kecintaan kepada Nabi sall-Allahu `alaihi wasallam.

Kini, untuk mencintai Nabi sall-Allahu `alaihi wasallam adalah sesuatu yang harus kita rasakan dalam hati kita. Jika kita tidak merasakannya dan tidak mengetahuinya dan tidak mempelajarinya dan tidak mengamalkannya, maka cinta itu hanyalah ada di lidah. Itulah kenapa Syaikh Muhammad Ahmad Qadiri, menyebutkan suatu hadits Nabi sall-Allahu `alaihi wasallam, “la yu’minu ahadakum hatta akuunu ahabba ilaykum min waalidihi wa aalihi wa an-naasi ajma’een.” Yang berarti, “Kalian tidak akan mencapai iman sejati sampai kalian mencintaiku; kalian harus mencintaiku lebih dari kalian mencintai orang tua kalian, diri kalian sendiri dan anak-anak kalian serta seluruh manusia.”

Jika kita melihat pada diri kita hari ini, jika anak kita sakit dan kalian harus membawanya ke rumah sakit, kehidupan kalian akan terganggu. Kalian tak dapat tidur satu jam pun tanpa adanya perasaan, “Anakku” atau “Putriku.” Kalian terus mengatakan pada diri kalian, “Putraku,” atau “Putriku”. Kalian memiliki perasaan ini dalam menjaga putra atau putri kalian. Hal ini adalah timbangan atau ukuran sederhana yang dapat kita pakai untuk melihat diri kita sendiri. Sudahkah kecintaan pada Nabi seperti kecintaan dalam hati kita pada anak-anak kita atau belum? Jika kecintaan seperti itu belum ada, dan saya yakin belum ada, maka kita pun harus meningkatkannya.

Itulah mengapa Syaikh Muhammad Ahmad juga menyebutkan ayat, “Qul in kuntum tuhibbun Allah fat-tabi’uunii yuhbibkumullah wa yaghfir lakum dzunuubakum, wallohu Ghafuurur Rahiim“Katakanlah:’Jika kamu (benar-benar)mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’”[QS. 3:31]

Bukanlah Nabi sall-Allahu `alaihi wasallam yang mengatakannya – namun adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berfirman, “Ya Muhammad, katakan pada mereka, `Jika kau mencintai Allah, maka ikutilah aku, Allah akan mencintaimu.’” Untuk siapakah ayat itu? Untuk setiap orang, untuk Sahabat. Saya mencintai Nabi, dan saya harap setiap orang pun mencintai Nabi. Dan para Sahabat mencintai Nabi sall-Allahu `alaihi wasallam. Maka bagaimanakah saya akan mencintai Nabi jika saya perlu untuk melihat beliau dan mengikuti beliau? Bagaimanakah saya mengikuti beliau jika saya tidak melihat jejak langkah beliau?

Maka, para Sahabat melihat jejak langkah Nabi dan beliau menunjukkan pada mereka akan hakikat bagaimana mengikuti (ittiba’, penerj.).
Beliau membawa mereka dengan tangan beliau dan mereka pun bergerak,
beliau membimbing mereka.

Namun, ayat Qur’an Suci tersebut adalah bagi seluruh Ummah [tidak hanya untuk para Sahabat, penerj.], dari awal hingga akhir. Ada suatu makna tersembunyi di sini. Nabi sall-Allahu ‘alaihi wasallam selalu bersama Sahabat untuk membimbing mereka. Itu berarti kehadiran beliau (sall-Allahu `alaihi wasallam) mestilah wujud/ada di semua zaman bagi semua orang, bagi semua manusia untuk diikuti.

“Wa’lamuu anna fiikum Rasulallah.”“Dan ketahuilah bahwa Nabi adalah berada dalam dirimu.” [QS. 49:7]. Allah tidak mengatakan bahwa beliau “baynakum“, “di antara kamu“, tapi Ia Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Fiikum”“di dalam dirimu.” Quran suci sangatlah halus dan teliti dalam setiap huruf dan kalimatnya. Jika Nabi sall-Allahu `alaihi wasallam berada dalam diri kita, maka kemudian Allah mengatakan pada kita di sini, “lalu di manakah dia sekarang?”

Saya akan memberikan suatu contoh berikut ini [sambil menyentuh mikrofon]. Apakah kalian mendengarkannya (suara mikrofon)? [ya]. Mengapa kalian mendengarnya?

Itulah suara. Sentuhan tadi menciptakan suatu suara yang memiliki suatu panjang gelombang tertentu dan gelombang ini bergerak ke seluruh ruang, ke seluruh alam semesta dan tak pernah lenyap. Mereka yang tahu akan fisika, engineering, tahu tentang ini. Gelombang tadi bergerak melalui ruang, sehingga ketika saya menyentuh (mikrofon), gelombang tadi bergerak melalui ruang – jika kalian memiliki receiver (penerima) kalian pun dapat mendengarnya dan jika kalian tidak memilikinya, kalian tak akan dapat mendengarnya.

Kita sedang mendengarkan dari era milliaran tahun yang lalu, suara-suara yang datang dari alam semesta, karena kita memiliki receiver-receiver yang besar (teleskop radio, penerj.). Kita mampu mendengarkan sesuatu, tetapi kita tetap tak mampu mendengar yang lain, ini tak mungkin. Setiap suara mestilah terdengar jika kalian memiliki peralatan yang tepat, karena gelombang-gelombang itu bergerak di segenap alam ini.

Saat Sayyidina Muhammad sall-Allahu `alaihi wasalam membaca Al Quran suci, gelombang itu terus hidup dan ia tidak lenyap. Kalian bisa pula memahaminya dari titik pandang Fisika. Maka, jika suara itu di sana, mengapa kita tak mampu mendengarnya? Karena ada yang salah dengan peralatan kita.

[subhanAllah, hayyak Allah wa jamaalakAllah wa.`afakalla]

Ada sesuatu yang salah. Bagaimana pula dengan hadits, “ma zaala `abdii yataqarraba ilayya bin-nawaafil hatta uhibbah. Fa idza ahbabtahu kuntu sam’ahul ladzii yasma’u bihi wa basharahul ladzii yubsiru bihi, wa yadahul ladzii yubtishu bihi wa lisanahul ladzii yatakallama bih.” “Hamba-Ku tidaklah berhenti mendekati-Ku melalui ibadah sunnah (nawafil) hingga Aku mencintainya. Dan jika Aku mencintainya, Aku akan menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendengar, penglihatannya yang dengannya ia melihat, dan tangannya yang dengannya ia bertindak dan lisannya yang dengannya ia berbicara.” [1]

Seorang hamba mendekat dengan ibadah sunnah sampai Aku mencintainya, sebagaimana Syaikh Muhammad Ahmad Mahmud Qadiri, [menambahkan bahwa]berkata bahwa cinta pada Sayyidina Muhammad adalah penting. Para Sahabat, karena kecintaan mereka kepada Nabi sall-Allahu `alaihi wasallam itu, mereka benar-benar mendengar pada Nabi Sall-Allahu `alaihi wasallam, dan berkata, “Ya Rasulallah, Wahai Rasulallah, kami terima apa pun yang kau ucapkan.” Para Munafiqiin mencoba untuk membuat keragu-raguan. Tapi, para sahabat berkata, “na’am Sadaqta Ya Rasulallah!” (bermakna, “Benar, engkau benar, Wahai Rasulallah”) pada malam Mi’raj.

Tapi, cinta itulah yang penting. Cinta itu datang bukan melalui kewajiban, tapi Ia berfirman, “maa zaala `abdii yataqarraba ilayya bin nawaafil hatta uhibbah.” – melalui ibadah dan amalan sunnah.

Apakah kewajiban itu dalam Quran, datang dari langit atau Nabi melakukannya sendiri karena kecintaan? Karena kecintaanlah, Nabi sall-Allahu ‘alayhi wasallam melakukannya. Kewajiban (Faraidh), adalah sesuatu yang harus kalian lakukan, kalian dipaksa, jika tidak kalian masuk ke jahannam. Itu adalah suatu kewajiban, kalian tak dapat mencapai cinta Allah dengannya. Adapun Ibadah Sunnah, ada suatu jalan untuk menghindarinya, karena sekalipun kalian tidak melakukannya kalian akan tetap masuk surga. Tapi, kalian tidak akan berada dalam situasi seperti yang disebut dalam hadits tadi. Itu berarti jika seorang hamba mencintai-Ku melalui Muhammad, dengan sarana Nawafil, `ibadah sunnah, maka Aku akan mencintainya, ini adalah suatu hubungan timbal balik. Ini haruslah dimulai dari diri kalian lebih dulu, karena Allah memang sudah mencintai hamba-Nya. Tapi, diri kalianlah yang harus memasukkan steker, kawat kabel kalian dan membuat hubungan itu dari sisi kalian.

Lalu apa yang terjadi? Hadist itu berlanjut, “kuntu sam’ahul ladzii yasma’u bih” Itu bermakna, “Aku akan memberinya penerima (receiver) khusus untuk mendengar, hingga ia mampu mendengar apa yang hanya bisa didengar wali.” “Aku akan memberinya apa yang tak dapat didengar orang biasa” Apa yang tak dapat didengar oleh orang-orang? Kau tak dapat mendengar, ia tak dapat mendengar, kalian akan mendengar suara yang orang tak dapat mendengarnya karena mereka tak memiliki pembukaan’ itu dalam telinga-telinga mereka. Ia akan memberi kalian apa-apa yang berasal dari sifat as-Sami’, sebagaimana Sariya radhiy-Allahu `anhu mendengarkan suara Sayyidina `Umar radhiy-Allahu `anhu dari Syam [2]. “Wahai Sariya! Jaga gunung itu,” dari Madinah ke Syam.

Sariya mampu mendengarnya. Sayyidina `Umar radhiyallahu `anhu mampu mendengar dan melihat. Jadi, Sariya memiliki audio voice saja. Sedangkan Sayyidina `Umar radhiyallahu `anhu memiliki baik video maupun audio. Itulah teknologi yang ada sejak 1400 tahun lampau, sejak zaman Nabi sall-Allahu `alaihi wasallam. Kemudian haditsnya berlanjut, “Aku akan berikan padanya penglihatan yang Ia dapat gunakan untuk melihat dengannya, Aku akan menjadi matanya yang dengannya ia dapat melihat.” Pada saat itulah, kalian akan memiliki audio, video, dan TV. Saat itulah, kemudian, kalian akan mampu melihat Nabi sall-Allahu `alaihi wasallam – bagaimana beliau bergerak, bagaimana beliau berbicara, bagaimana beliau bertindak, maka kalian pun bisa mengikutinya. Jika kalian tak mampu melihat hal-hal tersebut, maka ikutilah mereka yang mampu melihatnya. Tak setiap orang mampu melakukannya, hanya sedikit yang mampu melakukannya, hanya awliya’ (kekasih Allah) yang mampu melakukannya, seperti Sayyidina `Abdul Qadir Al-Jailani.

Bahkan kalian menyebut Ibn Taymiyya, saya tidak suka untuk menyebutnya tapi untuk menunjukkan pada Wahabi/Salafi bahwa guru mereka pun adalah seorang pelayan di pintu Sayyidina `Abdul Qadir Al-Jailani.

Ibn Taymiyya memuji Sayyidna `Abdul Qadir Al-Jailani dalam bukunya Fatawa ibn Taymiyya.

Saat itulah kalian memiliki audio dan video, dan itulah yang memberikan pada kita makna bahwa Nabi sall-Allahu `alaihi wasallam selalu hadir, melihat diri kalian dan melihat apa yang kalian lakukan. Dan jika kalian cerdas, kalian akan mampu melihatnya. Dan jika kalian tidak mampu, maka ikutilah mereka yang mampu. Itulah perintah yang ada dalam suatu hadits, “In kuntum tsalatsah, fa-amiru ahadakum.”“Jika kalian bertiga, maka jadikan seseorang sebagai pemimpin kalian.”

Amir itu tidak boleh buta, dia tidak boleh seseorang yang bukan intelektual. Dia haruslah seseorang yang dapat melihat jejak langkah Nabi Sall-Allahu `alaihi wasallam.

Saya mendengar cerita ini dari Syaikh saya dan ayah beliau dan kakek beliau adalah berasal dari tariqat Qadiri. Beliau melakukan khalwat penuh di maqam Sayyidina `Abdul Qadir Al-Jailani selama setahun penuh.

Seorang wanita membawa anak laki-lakinya kepada Sayyidina `Abdul Qadir Al-Jailani dan berkata, “Ya Sayyidii, aku tahu bahwa Anda adalah Ghawts, dan aku tahu demi kehormatan dari Nabi, engkau memberi.” Wanita itu adalah seorang wanita yang miskin dan ia selalu menghadiri suhbat (asosiasi), dan ia akan melihat seluruh murid, pengikut, menghadiri suhbat (nasihat) dan dzikir. Dan di hadapan setiap orang ada seekor ayam dan mereka makan.

Wanita itu berkata pada dirinya sendiri, “Alhamdulillah, aku miskin dan Sayyidina `Abdul Qadir kaya baik di dunia maupun di akhira. Aku akan berikan anakku untuk duduk di sana. Setidaknya ia akan makan di pagi dan malam hari.”

Ia berkata, “Aku ingin anakku menjadi muridmu.”

Beliau menerimanya. Anak itu adalah seorang anak yang berbadan cukup gemuk. Beliau menyuruh seorang murid, Muhamad Ahmad, “Kirimkan dia ke ruang bawah tanah dan berikan padanya awrad untuk khalwat. Dan berikan baginya sekerat roti dan minyak zaitun untuk makan setiap hari.”

Wanita tadi datang setelah satu bulan dan berpikir bahwa anak laki-lakinya pasti makan ayam. Kemudian ia melihat para murid duduk dan makan dengan adab, ayam.

Wanita itu bertanya pada Syaikh tentang anaknya. Beliau menjawab, “Ia sedang di ruang bawah tanah memakan makanan yang istimewa.” Wanita itu senang, karena ia berpikir bahwa kalau para murid saja sedang makan ayam, pastilah anaknya sedang makan sapi.

Dia turun ke bawah dan melihat anak laki-lakinya – dia tampak sangat kurus. Tapi, dia sedang duduk, membaca doa, berdzikir, dan cahaya tengah memancar dari wajahnya.

Wanita itu mendatanginya dan berkata, “Apa ini?” Ia menjawab, “Itulah yang aku makan, sekerat roti.” Wanita itu mendatangi Sayyidina `Abdul Qadir Al-Jailanai, “Aku membawa anakku untuk bersamamu.” Saat wanita itu berbicara sang Syaikh memerintahkan para muridnya, “Makan.” Setiap murid memakan ayam di hadapannya masing- masing, bukan potongan-potongan, tapi seluruh ayam, beserta tulang-tulangnya. Kemudian beliau berkata pada wanita itu, “Jika kau ingin anakmu mencapai suatu level untuk dapat memakan ayam beserta tulang-tulangnya, maka ia harus lebih dahulu menjalani tarbiyya
pelatihan.” Tarbiyya itu adalah untuk membina dan melatih ego, yang merupakan hal paling sulit. Itulah yang diperlukan.

Saya datang ke sini hanya untuk mendengarkan kalian.

Akhir dari suhbat Mawlana Syaikh Hisyam Kabbani.

Fatihah.

Allahumma salli ‘ala Sayyidina Muhammadin nabi al-ummi wa ‘ala Alihi wa Sahbihi wa sallim.

Catatan Kaki:
[1] Sebuah hadits sahih yang diriwayatkan banyak Imam Hadits dalam kitab-kitab mereka
[2] Syam adalah daerah di sekitar Syria dan Palestina, berpusat di Damascus.

* Syekh Muhammad Hisyâm Kabbânî ialah penulis dan ulama yang terkemuka di dunia. Ia telah mengabdikan hidupnya untuk mengampanyekan prinsip-prinsip Islam seperti perdamaian, toleransi, dan penentangan ektremisme dalam segala bentuknya. Sang syekh dibesarkan dalam keluarga ulama yang terhormat. Di antara mereka ada yang pernah menjadi Ketua Persatuan Ulama Lebanon dan kini menjabat sebagai Mufti Agung Lebanon—yakni pemangku otoritas agama tertinggi negara itu.

Di Amerika, Syekh Kabbânî menjabat sebagai Ketua Dewan Tinggi Islam Amerika; pendiri Tarekat Naqsyabandi Amerika; Ketua Yayasan Al-Sunnah Amerika; Ketua Organisasi Wanita Islam Kamilat; dan pendiri serta Ketua The Muslim Magazine.

Syekh Kabbânî sangat piawai baik sebagai saintis Barat maupun pakar Islam klasik. Ia memperoleh gelar sarjana muda pada bidang kimia (American University in Beirut), dan mempelajari ilmu kedokteran (Catholic University of Leuven, Belgia). Di samping itu, ia juga menyandang gelar sarjana pada bidang hukum Islam (Universitas Al-Azhar cabang Damaskus, Syria), dan, atas izin dari Syekh ‘Abd Allâh Daghestani, mengajar, mengarahkan, dan membimbing para murid yang belajar spiritualitas Islam dari Syekh Muhammad Nâzim ‘Adil al-Qubrusî al-Haqqânî al-Naqsyabandî, pemimpin besar tarekat Naqsyabandî-Haqqânî.

Buku-buku yang pernah beliau tulis adalah: Remembrance of God Liturgy of the Sufi Naqshbandi Masters (1994); The Naqshbandi Sufi Way (1995); Angels Unveiled (1996); Encyclopedia of Islamic Doctrine (7 jilid, 1998); Encyclopedia of Muhammad’s Women Companions and the Traditions They Related (1998, bersama Dr. Laleh Bakhtiar); dan Classical Islam and the Naqshbandi Sufi Order (akan diterbitkan bulan November 2003).

Dalam usaha jangka panjangnya untuk memperkenalkan pemahaman yang lebih baik tentang Islam klasik, Syekh Kabbânî telah menyelenggarakan dua konferensi internasional di Amerika, dengan menghadirkan para pakar dari berbagai dunia muslim. Sebagai pembawa suara Islam tradisional, komentarnya dikutip oleh para wartawan, akademisi, maupun pejabat pemerintahan.

[]

Detik-Detik Maulid Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam

Bismilahirrahmanirrahim Walhamdulillah Wassholatu Wassalamu `Ala Rasulillah, Wa’ala Aalihie Washohbihie Waman Walaah amma ba’du..

Oleh : M. Luthfi Thomafi*

Diriwayatkan oleh Umar bin Khatthab r.a., beliau berkata : saya bersama Rasulullah s.a.w sedang duduk-duduk. Rasul s.a.w. bertanya kepada para sahabat, “Katakan kepadaku, siapakah makhluk Allah yang paling besar imannya?” Para sahabat menjawab; ‘Para malaikat, wahai Rasul’. Nabi s.a.w bersabda, “Tentu mereka demikian. Dan mereka berhak seperti itu. Tidak ada yang bisa menghalangi itu, karena Allah s.w.t telah memberikan mereka tempat”. Sahabat menjawab, “Para Nabi yang diberi kemuliaan oleh Allah s.w.t, wahai Rasul”. Nabi s.a.w. bersabda, “Tentu mereka demikian. Dan mereka berhak seperti itu. Tidak ada yang bisa menghalangi itu, karena Allah s.w.t telah memberikan mereka tempat”. Sahabat menjawab lagi, “Para syuhada yang ikut bersyahid bersama para Nabi, wahai Rasul”. Nabi s.a.w. bersabda, “Tentu mereka demikian. Dan mereka berhak seperti itu. Tidak ada yang bisa menghalangi itu, karena Allah s.w.t telah memberikan mereka tempat”.


“Lalu siapa, wahai Rasul?”, tanya para sahabat.

Lalu Nabi s.a.w. bersabda, “Kaum yang hidup sesudahku. Mereka beriman kepadaku, dan mereka tidak pernah melihatku, mereka membenarkanku, dan mereka tidak pernah bertemu dengan aku. Mereka menemukan kertas yang menggantung, lalu mereka mengamalkan apa yang ada pada kertas itu. Maka, mereka-mereka itulah yang orang-orang yang paling utama di antara orang-orang yang beriman”. [Musnad Abî Ya’lâ, hadits nomor 160].

Waktu yang ditunggu-tunggu itu belum datang juga, namun beberapa orang masih terus mencari. Mereka menelusuri ujung-ujung kota Mekkah. Dari satu tempat ke tempat lain, orang-orang yang merindukan kehadiran seorang pembebas itu tak lupa bertanya kepada orang-orang yang mereka jumpai di setiap tempat. Mereka bertanya begini kepada setiap orang, “Siapakah di antara kalian yang memiliki bayi laki-laki?”. Namun tak seorang pun mengiyakan pertanyaannya. Orang awam tentu tidak memahami maksud pertanyaan itu, namun orang-orang itu tidak juga berhenti untuk mencari dan menanyakan dimana gerangan bayi laki-laki yang dilahirkan. Semuanya ini dilakukan untuk membuktikan kepercayaan yang selama ini diyakininya. Bahwa dunia yang telah rusak sedang menanti kedatangannya.

Hingga pada suatu pagi.

Sebagaimana aktifitas yang telah diberlakukan semenjak zaman nabi Ibrahim a.s, setiap bayi yang lahir pada saat itu segera di-thawaf-kan. Ini tidak lain untuk mendapatkan hidup yang penuh barokah, yakni bertambahnya kebaikan lahir dan batin, serta mengharapkan kemuliaan dan petunjuk dari Allah s.w.t. Tidak terkecuali bagi seorang Sayyid Abdul Muththalib, yang terkenal masih bersih dalam urusan teologi. Begitu mengetahui cucu laki-lakinya lahir, maka segeralah beliau membawa bayi itu menuju Ka’bah, lalu Thawaf, membawa bayi itu mengelilingi Ka’bah tujuh kali sambil berdoa kepada Allah s.w.t.

***

Tepat sesaat setelah Sayyid Muththalib memasuki rumah setelah men-thawaf-kan cucunya, lewatlah seseorang yang selama beberapa hari ini mencari kelahiran seorang bayi laki-laki. Saat itu, orang yang sudah cukup tua tersebut masih menanyai kepada setiap orang yang dia temui, “Siapakah di antara kalian yang memiliki bayi laki-laki?”. Pada saat itulah sayyid Muththalib menyadari ada seorang tua yang mencari bayi laki-laki.

Dipanggilnya orang tua itu, lalu beliau berkata kepadanya, “Saya punya bayi laki-laki, tapi, tolong katakan, apa kepentingan Anda mencari bayi laki-laki?”.

“Saya ingin melihat bayi laki-laki yang baru lahir. Itu saja”, jawab orang tua tersebut yang sekonyong-konyong muncul semangat baru dalam dirinya. Tanpa memberikan kesulitan apapun, Sayyid Muththalib mempersilahkan orang tua itu masuk ke rumahnya untuk melihat bayi yang dimaksud.

Apa yang terjadi saat orang tua itu melihat bayi yang ditanyakannya, adalah hal yang tidak pernah dibayangkan oleh sayyid Muththalib. Sang Sayyid memang tidak pernah berpikir apa pun. Sebagai layaknya seorang kakek yang berbahagia mempunyai cucu, beliau cukup bersyukur sang cucu dilahirkan dalam keadaan sehat wal-afiat. Namun, bagi orang tua yang sedang mencari sesuatu itu tidak demikian. Begitu melihat bayi dan menemukan ciri-ciri sebagaimana disebutkan dalam al-Kitab yang dia baca, serta informasi dari orang-orang terdahulu, orang tua itu berseru, “Benar, benar sekali ciri-cirinya, inilah bayi yang akan menjadi Nabi akhir zaman kelak…”. Dalam kebengongan Sayyid Muththalib, pingsanlah orang tua yang selama ini mencari-cari bayi laki-laki tersebut, lalu wafat pada saat itu juga.

***

Orang-orang yang mencari bayi laki-laki saat itu, termasuk seorang tua yang akhirnya mendapatkannya dan pingsan, adalah para agamawan yang meyakini akan kehadiran seorang Nabi akhir zaman. Mereka sangat teguh memegang berita akan kemunculan nabi akhir zaman ini. Semakin kuat keyakinan mereka, semakin mereka meninggalkan urusan-urusan dunianya guna menanti atau mencari nabi akhir zaman itu. Penantian nabi akhir zaman itu, selain berkat informasi dari kitab-kitab mereka, saat itu, mereka juga sangat merasakan bahwa keadaan membutuhkan kehadiran sang Nabi.

Sedang sang bayi yang ditunggu adalah bayi Muhammad Shalla-llâhu ‘alayhi wa sallama, bayi yang kelak menjadi nabi terakhir.

Demikianlah, akhir dari kisah pencarian para agamawan pada zaman pra Nabi Muhammad saw. Pencarian atas apa yang diisyaratkan dalam kitab-kitab mereka, bahwa akan diutusnya nabi akhir zaman untuk meluruskan kembali akidah-akidah yang telah tidak berdasar.

Dari kisah ini, kita mengetahui betapa pada waktu itu masyarakat mengelu-elukan kehadiran Nabi Muhammad saw, ‘Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin’. (QS. 9:128). Hampir setiap kaum tahu bahwa ketika situasi sudah sangat rusak, nabi akhir zaman akan muncul. Namun, dari mana dia lahir, hal itu yang tidak pernah diketahui secara pasti. Yang diketahui pada saat itu adalah ciri-ciri tempat, posisi bintang, ciri-ciri bayi, dan lain sebagainya.

Dalam kitab-kitab lama, ciri-ciri tersebut ditulis secara jelas. Hingga masyarakat yang membaca kitab-kitab itu pun akan mengetahui pula. Tidak sekedar mengetahui, tapi mereka juga berkeinginan untuk dekat dengan nabi akhir zaman tersebut. Salah satu yang diimpikan oleh berbagai kaum saat itu, adalah harapan agar nabi akhir zaman itu muncul dari keturunannya. Hal demikian tentu sangat manusiawi. Maka, untuk mewujudkan impian itu, banyak kaum yang melakukan migrasi dari kampung halamannya, untuk mencari tempat yang disebutkan ciri-cirinya oleh kitab-kitab lama.

Ada beberapa tempat yang saat itu menjadi pilihan para pencari nabi akhir zaman. Tempat-tempat itu antara lain adalah Mekkah, Madinah (Yathrib) serta Yaman. Salah satu dari tiga tempat itu diyakini menjadi tempat nabi akhir zaman dilahirkan. Banyak juga para agamawan yang menduga nabi akhir zaman masih akan muncul dari kawasan Jerusalem atau Damaskus.

***

Untuk kasus Mekkah, orang-orang atau kaum non Quraisy yang minoritas adalah kaum pendatang yang sengaja tinggal di Mekkah untuk menanti kedatangan nabi akhir zaman. Sedangkan kasus migrasi di Madinah, orang-orang Yahudi-lah yang banyak menempati kota tersebut waktu itu. Suku bangsa seperti Bani Nadhir, Quraizah, Qainuqa’ dan suku-suku kecil lainnya, yang sering muamalahnya menghiasi sejarah Islam dan târîkh Nabi saw, adalah keluarga-keluarga Yahudi yang bermigrasi dari berbagai kawasan, baik dari Jerusalem, Yaman, maupun yang lainnya, ke daerah Madinah untuk menanti nabi akhir zaman. Migrasi-migrasi itu terjadi dengan harapan nabi akhir zaman muncul dari keturunan mereka, selain, tentunya, mengharapkan barokah tadi. Migrasi ke Madinah ini dilakukan sudah cukup lama, setidaknya mereka telah mendiami Madinah sekitar 100 tahun sebelum kelahiran Nabi Muhammad saw.

Banyak sekali suku-bangsa yang percaya akan datangnya nabi akhir zaman. Mulai dari Ethiopia (Al-Habsyi) hingga Damaskus (Dimasyqa), serta dari Yaman hingga negeri-negeri Rusia. Semuanya menanti kedatangannya.

***

Sang nabi akhir zaman itu telah lahir. Namun, sangat disayangkan, Allah swt telah dengan cepat memanggil para agamawan yang menjadi “saksi penting” kebenaran Muhammad s.a.w ke sisi-Nya. Seolah-olah sebuah drama yang penuh liku, sedikit demi sedikit, para agamawan yang diharapkan kesaksiannya telah wafat. Tidak bisa dibayangkan, andaikata para agamawan ini, dan segenap murid serta keturunannya, masih hidup serta senantiasa mengikuti perkembangan bayi Nabi Muhammad saw hingga pada usia-usia dewasa dan kenabian, tentu sejarah akan berbicara lain.

Memang, kasus-kasus wafatnya para agamawan setelah melihat tanda-tanda adanya kenabian, seperti yang terjadi pada orang tua itu, bukanlah yang pertama kali. Dalam rekaman sejarah, banyak sekali informasi yang membahasnya, bahkan sejak zaman sayyid Abdullah—ayahanda Nabi Muhammad saw—belum menikah dengan sayyidah Aminah, dan juga pada masa-masa dalam kandungan sayyidah Aminah. Hingga pada suatu waktu di kemudian hari, tepatnya 40 tahun setelah kelahiran nabi, sejarah juga kehilangan seorang agamawan-monotheis yang informasi spiritualnya sangat berharga bagi keberlangsungan keyakinan terhadap adanya nabi akhir zaman.

Dalam hadits yang diriwayatkan sayyidah ‘Aisyah ra disebutkan bahwa setelah mendapatkan wahyu pertama, sayyidah Khadîjah ra—bersama nabi—mendatangi pamannya, Waraqah bin Naufal, untuk meminta advis atas apa yang baru saja terjadi pada nabi. Waraqah bin Naufal adalah seorang agamawan ahli kitab suci.

Setelah Nabi Muhammad saw menceritakan semua yang terjadi kepada beliau—di gua hira itu—langsung saja Waraqah terperanjat dan menjawabnya,”Itu adalah Nâmûs yang diturunkan Allah s.w.t. kepada Musa a.s. Ya Tuhan, semoga saja aku masih hidup ketika orang-orang mengusir nabi ini…”.

Waraqah tahu, bahwa yang menemui Nabi Muhammad saw adalah Namûs, alias malaikat Jibril as, yang pernah menemui Nabi Musa as dulu. Pengakuan Waraqah ini mirip dengan peristiwa yang terjadi beberapa tahun kemudian, saat Nabi Muhammad saw membacakan ayat al-Qur’an di hadapan jin, maka jin itu berkomentar, “Mereka berkata, ’Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (yaitu al-Qur’an) yang telah diturunkan sesudah Musa, yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus. [QS. 46:30].

Dan Waraqah tahu, bahwa yang ada di depannya saat itu adalah seorang nabi, yang di kemudian hari akan diusir oleh kaumnya sendiri dari tanah kelahirannya. Tapi, harapan Waraqah untuk menjadi saksi perilaku orang-orang terhadap Nabi Muhammad saw tidak kesampaian. Beberapa hari setelah itu, beliau wafat. Untuk ke sekian kalinya, Allah swt memanggil hamba-Nya yang bisa menjadi “saksi spritual” atas kenabian Muhammad saw. Tapi, itulah, Allah swt tentu memiliki kehendak-kehendak tersendiri yang tidak pernah kita ketahui.

***

Dengan wafatnya beberapa agamawan yang menjadi saksi kebenaran kelahiran sang nabi, terputus pula informasi-informasi ini. Situasi informasi tentang nabi akhir zaman kembali ke titik nol. Namun inti berita yang ada dalam kitab-kitab tentang akan diutusnya nabi akhir zaman saat itu masih ada. Karena realitas teologis memang membutuhkannya. Hanya berita ini yang telah diketahui oleh para agamawan di berbagai tempat, sebagaimana berita akan kelahirannya. Dan mereka hanya bisa memegang keyakinannya, tanpa ada kemampuan untuk mencarinya, sebagaimana pendahulu-pendahulu mereka menemukan waktu saat-saat dilahirkannya Nabi Muhammad s.a.w. Nampaknya, agamawan yang baru membaca kitab-kitab suci itu lebih percaya bahwa nabi akhir zaman sudah benar-benar lahir di dunia ini.

Memang banyak ditemukan beberapa anak laki-laki yang memiliki nama Ahmad atau Muhammad pada masa pra kenabian. Menamakan Ahmad atau Muhammad karena orang tuanya sangat berharap anaknya menjadi nabi. Tetapi, para agamawan tentu sudah memiliki wasilah atau cara tersendiri untuk menentukan “validitas stempel” yang ada pada seorang nabi, apa lagi nabi akhir zaman. Maka, mereka tinggal menanti detik-detik kedatangan risalah dan deklarasi kenabian sang nabi akhir zaman itu.

***

Secara umum, bisa dikatakan bahwa kebanyakan para agamawan saat itu sudah mengetahui bahwa nabi akhir zaman akan diturunkan dari keluarga tertentu, dan di tempat tertentu. Ada saja yang mengetahui, atau setidaknya meyakini, bahwa nabi akhir zaman itu muncul dari keluarga Bani Hasyim, di daerah Mekkah, dan lain sebagainya. Ini misalnya terjadi kepada seorang pedagang dari Mekkah yang berjulukan Atîq, saat berdagang ke Yaman. Sebagai pedagang yang juga intelektual, kemana pun pergi beliau tidak lupa untuk berkunjung ke kalangan agamawan.

Saat beliau menemui seorang agamawan di Yaman, dan beliau ditanya tentang asal daerah serta dari keluarga apa, maka setelah mendapatkan jawaban, sang agamawan itu menyatakan, “Nanti akan ada nabi akhir zaman dari daerah kamu dan dari keluarga kamu”. Beliau—Atîq—percaya atas informasi yang disampaikan agamawan Yaman itu. Begitu sang nabi muncul dan mendakwahkan kembali ajaran-ajaran Tauhîd [monotheisme] yang hilang, dia –Atîq– pun segera bersaksi atas kebenaran ajaran itu. Beliau menjadi laki-laki pertama yang membenarkan risalah yang dibawa Nabi Muhammad s.a.w. Saat masuk Islam itu, beliau mengganti nama menjadi Abû Bakar, yang kelak menjadi sahabat utama sang nabi akhir zaman dan mendapatkan gelar Ash-Shiddîq, yang senantiasa membenarkan. Ini adalah jawaban atas pertanyaan, kenapa Abû Bakar r.a. selalu saja membenarkan kebenaran Muhammad.

***

Dalam al-Qur’an, Allah s.w.t. berfirman, “Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: “Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya”. Allah berfirman: “Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?”. Mereka menjawab: “Kami mengakui”. Allah berfirman: “Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu”. [QS. 3:81]

Para nabi berjanji kepada Allah s.w.t. bahwa bilamana datang seorang Rasul bernama Muhammad mereka akan iman kepadanya dan menolongnya. Perjanjian nabi-nabi ini mengikat pula para ummatnya. Namun, manusia selalu melakukan penentangan terhadap keputusan-keputusan Allah s.w.t. Para manusia itu ingkar, sebagaimana diceritakan dalam al-Qur’an, “Dan setelah datang kepada mereka Al Qur’an dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada merekamaksudnya kedatangan Nabi Muhammad s.a.w. yang tersebut dalam Taurat dimana diterangkan sifat-sifatnya—, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka la’nat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu”.(QS. 2:89)

Itulah manusia yang sangat tidak beruntung dengan melakukan penolakan terhadap kenabian Muhammad s.a.w. Maka, sangat tepat jika Nabi Muhammad s.a.w. bersabda dalam hadits yang penulis nukil pada permulaan di atas. Bahwa orang yang menjadi saudara Nabi s.a.w. adalah orang yang tidak pernah melihat Nabi s.a.w. namun percaya akan kenabian dan selalu membenarkan sabda-sabda beliau. Orang-orang yang tidak pernah bertemu dengan Nabi s.a.w. tapi selalu membenarkan beliau itulah yang merupakan orang-orang paling utama di antara orang-orang beriman. Ya Allah, tetapkanlah kami untuk selalu beriman kepada-Mu dan kepada Nabi-Mu.

Âmîn. (Disarikan dari beberapa buku, terutama kitab Syarah Al-Barzanjî)

muslimdelft.nl

Mengenang Akhlak Nabi Muhammad sallAllahu ‘alayhi wasallam

A’uudzu billahi minasy syaithanirrajiim
Bismillahirrahmanirrahim

Allahumma salli ‘ala sayyidina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa sahbihi
wasallim

oleh Ustadz KH. Nadirsyah Hosen*

Setelah Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam wafat, seketika itu pula kota Madinah bising dengan tangisan ummat Islam; antara percaya - tidak percaya, Rasul Yang Mulia telah meninggalkan para sahabat. Beberapa waktu kemudian, seorang arab badui menemui Umar dan dia meminta, “Ceritakan padaku akhlak Muhammad!”. Umar menangis mendengar permintaan itu. Ia tak sanggup berkata apa-apa. Ia menyuruh Arab badui tersebut menemui Bilal. Setelah ditemui dan diajukan permintaan yg sama, Bilal pun menangis, ia tak sanggup menceritakan apapun. Bilal hanya dapat menyuruh orang tersebut menjumpai Ali bin Abi Thalib.

Orang Badui ini mulai heran. Bukankah Umar merupakan seorang sahabat senior Nabi, begitu pula Bilal, bukankah ia merupakan sahabat setia Nabi. Mengapa mereka tak sanggup menceritakan akhlak Muhammad Orang Badui ini mulai heran. Bukankah Umar merupakan seorang sahabat
senior Nabi, begitu pula Bilal, bukankah ia merupakan sahabat setia
Nabi. Mengapa mereka tak sanggup menceritakan akhlak Muhammad sallAllahu ‘alayhi wasallam. Dengan
berharap-harap cemas, Badui ini menemui Ali. Ali dengan linangan air
mata berkata, “Ceritakan padaku keindahan dunia ini!.” Badui ini
menjawab, “Bagaimana mungkin aku dapat menceritakan segala keindahan
dunia ini….” Ali menjawab, “Engkau tak sanggup menceritakan
keindahan dunia padahal Allah telah berfirman bahwa sungguh dunia ini
kecil dan hanyalah senda gurau belaka, lalu bagaimana aku dapat
melukiskan akhlak Muhammad sallAllahu ‘alayhi wasallam, sedangkan Allah telah berfirman bahwa
sungguh Muhammad memiliki budi pekerti yang agung! (QS. Al-Qalam[68]:
4)”

Badui ini lalu menemui Siti Aisyah r.a. Isteri Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam yang sering disapa
“Khumairah” oleh Nabi ini hanya menjawab, khuluquhu al-Qur’an
(Akhlaknya Muhammad itu Al-Qur’an). Seakan-akan Aisyah ingin
mengatakan bahwa Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam itu bagaikan Al-Qur’an berjalan. Badui ini
tidak puas, bagaimana bisa ia segera menangkap akhlak Nabi kalau ia
harus melihat ke seluruh kandungan Qur’an. Aisyah akhirnya
menyarankan Badui ini untuk membaca dan menyimak QS Al-Mu’minun [23]:
1-11.

Bagi para sahabat, masing-masing memiliki kesan tersendiri dari
pergaulannya dengan Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam. Kalau mereka diminta menjelaskan seluruh
akhlak Nabi, linangan air mata-lah jawabannya, karena mereka
terkenang akan junjungan mereka. Paling-paling mereka hanya mampu
menceritakan satu fragmen yang paling indah dan berkesan dalam
interaksi mereka dengan Nabi terakhir ini.

Mari kita kembali ke Aisyah. Ketika ditanya, bagaimana perilaku Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam, Aisyah hanya menjawab, “Ah semua perilakunya indah.” Ketika didesak lagi, Aisyah baru bercerita saat terindah baginya, sebagai seorang isteri. “Ketika aku sudah berada di tempat tidur dan kami sudah masuk dalam selimut, dan kulit kami sudah bersentuhan, suamiku berkata, ‘Ya Aisyah, izinkan aku untuk menghadap Tuhanku terlebih dahulu.’” Apalagi yang dapat lebih membahagiakan seorang isteri, karena dalam sejumput episode tersebut terkumpul kasih sayang, kebersamaan, perhatian dan rasa hormat dari seorang suami, yang juga seorang utusan Allah.

Nabi Muhammad sallAllahu ‘alayhi wasallam jugalah yang membikin khawatir hati Aisyah ketika menjelang subuh Aisyah tidak mendapati suaminya disampingnya. Aisyah keluar membuka pintu rumah. terkejut ia bukan kepalang, melihat suaminya tidur di depan pintu. Aisyah berkata, “Mengapa engkau tidur di sini?” Nabi Muhammmad menjawab, “Aku pulang sudah larut malam, aku khawatir mengganggu tidurmu sehingga aku tidak mengetuk pintu. itulah sebabnya aku tidur di depan pintu.” Mari berkaca di diri kita masing-masing. Bagaimana perilaku kita terhadap isteri kita? Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam mengingatkan, “berhati-hatilah kamu terhadap isterimu, karena sungguh kamu akan ditanya di hari akhir tentangnya.” Para sahabat pada masa Nabi memperlakukan isteri mereka dengan hormat, mereka takut kalau wahyu turun dan mengecam mereka.

Buat sahabat yang lain, fragmen yang paling indah ketika sahabat
tersebut terlambat datang ke Majelis Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam. Tempat sudah penuh sesak.
Ia minta izin untuk mendapat tempat, namun sahabat yang lain tak ada
yang mau memberinya tempat. Di tengah kebingungannya, Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam
memanggilnya. Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam memintanya duduk di dekatnya. Tidak cukup dengan
itu, Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam pun melipat sorbannya lalu diberikan pada sahabat tersebut
untuk dijadikan alas tempat duduk. Sahabat tersebut dengan
berlinangan air mata, menerima sorban tersebut namun tidak
menjadikannya alas duduk akan tetapi malah mencium sorban Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam tersebut.

Senangkah kita kalau orang yang kita hormati, pemimpin yang kita
junjung tiba-tiba melayani kita bahkan memberikan sorbannya untuk
tempat alas duduk kita. Bukankah kalau mendapat kartu lebaran dari
seorang pejabat saja kita sangat bersuka cita. Begitulah akhlak Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam,
sebagai pemimpin ia ingin menyenangkan dan melayani bawahannya. Dan
tengoklah diri kita. Kita adalah pemimpin, bahkan untuk lingkup
paling kecil sekalipun, sudahkah kita meniru akhlak Rasul Yang Mulia.

Nabi Muhammad sallAllahu ‘alayhi wasallam juga terkenal suka memuji sahabatnya. Kalau kita baca
kitab-kitab hadis, kita akan kebingungan menentukan siapa sahabat yang
paling utama. Terhadap Abu Bakar, Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam selalu memujinya. Abu Bakar-
lah yang menemani Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam ketika hijrah. Abu Bakarlah yang diminta
menjadi Imam ketika Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam sakit. Tentang Umar, Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam pernah
berkata, “Syetan saja takut dengan Umar, bila Umar lewat jalan yang
satu, maka Syetan lewat jalan yang lain.”
Dalam riwayat lain
disebutkan, “Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam bermimpi meminum susu. Belum habis satu
gelas, Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam memberikannya pada Umar yang meminumnya sampai habis. Para
sahabat bertanya, Ya Rasul apa maksud (ta’wil) mimpimu itu? Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam menjawab “ilmu pengetahuan.”

Tentang Utsman, Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam sangat menghargai Utsman karena itu Utsman
menikahi dua putri Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam, hingga Utsman dijuluki Dzu an-Nurain
(pemilik dua cahaya). Mengenai Ali, Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam bukan saja menjadikannya ia
menantu, tetapi banyak sekali riwayat yang menyebutkan keutamaan
Ali. “Aku ini kota ilmu, dan Ali adalah pintunya.” “Barang siapa
membenci Ali, maka ia merupakan orang munafik.”

Lihatlah diri kita sekarang. Bukankah jika ada seorang rekan yang
punya sembilan kelebihan dan satu kekurangan, maka kita jauh lebih
tertarik berjam-jam untuk membicarakan yang satu itu dan melupakan
yang sembilan. Ah…ternyata kita belum suka memuji; kita masih suka
mencela
. Ternyata kita belum mengikuti sunnah Nabi.

Saya pernah mendengar ada seorang ulama yang mengatakan bahwa Allah
pun sangat menghormati Nabi Muhammad sallAllahu ‘alayhi wasallam. Buktinya, dalam Al-Qur’an Allah
memanggil para Nabi dengan sebutan nama: Musa, Ayyub, Zakaria, dll.
tetapi ketika memanggil Nabi Muhammad sallAllahu ‘alayhi wasallam, Allah menyapanya dengan “Wahai
Nabi”. Ternyata Allah saja sangat menghormati beliau.

Para sahabat pun ditegur oleh Allah ketika mereka berlaku tak sopan
pada Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam. Alkisah, rombongan Bani Tamim menghadap Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam. Mereka ingin Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam menunjuk pemimpin buat mereka. Sebelum Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam memutuskan
siapa, Abu Bakar berkata: “Angkat Al-Qa’qa bin Ma’bad sebagai
pemimpin.” Kata Umar, “Tidak, angkatlah Al-Aqra’ bin Habis.” Abu
Bakar berkata ke Umar, “Kamu hanya ingin membantah aku saja,” Umar
menjawab, “Aku tidak bermaksud membantahmu.” Keduanya berbantahan
sehingga suara mereka terdengar makin keras. Waktu itu turunlah
ayat: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah
dan Rasul-Nya. Takutlah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah maha
Mendengar dan maha Mengetahui. Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu menaikkan suaramu di atas suara Nabi. janganlah kamu
mengeraskan suara kamu dalam percakapan dengan dia seperti
mengeraskan suara kamu ketika bercakap sesama kamu. Nanti hapus amal-
amal kamu dan kamu tidak menyadarinya”
(QS. Al-Hujurat 1-2)

Setelah mendengar teguran itu Abu Bakar berkata, “Ya Rasul Allah, demi
Allah, sejak sekarang aku tidak akan berbicara denganmu kecuali
seperti seorang saudara yang membisikkan rahasia.” Umar juga
berbicara kepada Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam dengan suara yang lembut. Bahkan konon kabarnya
setelah peristiwa itu Umar banyak sekali bersedekah, karena takut
amal yang lalu telah terhapus. Para sahabat Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam takut akan terhapus
amal mereka karena melanggar etiket berhadapan dengan Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam.

Dalam satu kesempatan lain, ketika di Mekkah, Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam didatangi utusan
pembesar Quraisy, Utbah bin Rabi’ah. Ia berkata pada Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam, “Wahai
kemenakanku, kau datang membawa agama baru, apa yang sebetulnya kau
kehendaki. Jika kau kehendaki harta, akan kami kumpulkan kekayaan
kami, Jika Kau inginkan kemuliaan akan kami muliakan engkau. Jika ada
sesuatu penyakit yang dideritamu, akan kami carikan obat. Jika kau
inginkan kekuasaan, biar kami jadikan engkau penguasa kami”

Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam mendengar dengan sabar uraian tokoh musyrik ini. Tidak sekalipun
beliau membantah atau memotong pembicaraannya. Ketika Utbah berhenti,
Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam bertanya, “Sudah selesaikah, Ya Abal Walid?” “Sudah.” kata
Utbah. Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam membalas ucapan utbah dengan membaca surat Fushilat.
Ketika sampai pada ayat sajdah, Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam pun bersujud. Sementara itu Utbah
duduk mendengarkan Nabi sampai menyelesaikan bacaannya.

Peristiwa ini sudah lewat ratusan tahun lalu. Kita tidak heran
bagaimana Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam dengan sabar mendengarkan pendapat dan usul Utbah,
tokoh musyrik. Kita mengenal akhlak nabi dalam menghormati pendapat
orang lain. Inilah akhlak Nabi dalam majelis ilmu. Yang menakjubkan
sebenarnya adalah perilaku kita sekarang. Bahkan oleh si Utbbah, si musyrik, kita kalah. Utbah mau mendengarkan Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam dan menyuruh kaumnya
membiarkan Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam berbicara. Jangankan mendengarkan pendapat orang kafir, kita bahkan tidak mau mendengarkan pendapat saudara kita sesama muslim. Dalam pengajian, suara pembicara kadang-kadang tertutup suara obrolan kita. Masya Allah!

Ketika Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam tiba di Madinah dalam episode hijrah, ada utusan kafir
Mekkah yang meminta janji Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam bahwa Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam akan mengembalikan siapapun
yang pergi ke Madinah setelah perginya Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam. Selang beberapa waktu
kemudian. Seorang sahabat rupanya tertinggal di belakang Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam.
Sahabat ini meninggalkan isterinya, anaknya dan hartanya. Dengan
terengah-engah menembus padang pasir, akhirnya ia sampai di Madinah.
Dengan perasaan haru ia segera menemui Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam dan melaporkan
kedatangannya. Apa jawab Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam? “Kembalilah engkau ke Mekkah. Sungguh
aku telah terikat perjanjian. Semoga Allah melindungimu.”
Sahabat ini menangis keras. Bagi Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam janji adalah suatu yang sangat
agung. Meskipun Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam merasakan bagaimana besarnya pengorbanan sahabat
ini untuk berhijrah, bagi Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam janji adalah janji; bahkan meskipun
janji itu diucapkan kepada orang kafir. Bagaimana kita memandang
harga suatu janji, merupakan salah satu bentuk jawaban bagaimana
perilaku Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam telah menyerap di sanubari kita atau tidak.

Dalam suatu kesempatan menjelang akhir hayatnya, Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam berkata pada
para sahabat, “Mungkin sebentar lagi Allah akan memanggilku, aku tak
ingin di padang mahsyar nanti ada diantara kalian yang ingin menuntut
balas karena perbuatanku pada kalian. Bila ada yang keberatan dengan
perbuatanku pada kalian, ucapkanlah!” Sahabat yang lain terdiam,
namun ada seorang sahabat yang tiba-tiba bangkit dan berkata, “Dahulu
ketika engkau memeriksa barisan di saat ingin pergi perang, kau
meluruskan posisi aku dengan tongkatmu. Aku tak tahu apakah engkau
sengaja atau tidak, tapi aku ingin menuntut qishash hari ini.” Para
sahabat lain terpana, tidak menyangka ada yang berani berkata seperti
itu. Kabarnya Umar langsung berdiri dan siap “membereskan” orang itu.
Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam pun melarangnya. Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam pun menyuruh Bilal mengambil tongkat ke
rumah beliau. Siti Aisyah yang berada di rumah Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam keheranan ketika
Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam meminta tongkat. Setelah Bilal menjelaskan peristiwa yang
terjadi, Aisyah pun semakin heran, mengapa ada sahabat yang berani
berbuat senekad itu setelah semua yang Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam berikan pada mereka.

Rasul memberikan tongkat tersebut pada sahabat itu seraya
menyingkapkan bajunya, sehingga terlihatlah perut Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam. Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam berkata, “Lakukanlah!”

Detik-detik berikutnya menjadi sangat menegangkan. Tetapi terjadi
suatu keanehan. Sahabat tersebut malah menciumi perut Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam dan
memeluk Nabi seraya menangis, “Sungguh maksud tujuanku hanyalah untuk
memelukmu dan merasakan kulitku bersentuhan dengan tubuhmu!. Aku
ikhlas atas semua perilakumu wahai Rasulullah.”
Seketika itu juga
terdengar ucapan, “Allahu Akbar” berkali-kali. Sahabat tersebut tahu,
bahwa permintaan Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam itu tidak mungkin diucapkan kalau Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam tidak
merasa bahwa ajalnya semakin dekat. Sahabat itu tahu bahwa saat
perpisahan semakin dekat, ia ingin memeluk Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam sebelum Allah
memanggil Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam ke hadirat-Nya.

Suatu pelajaran lagi buat kita. Menyakiti orang lain baik hati maupun
badannya merupakan perbuatan yang amat tercela. Allah tidak akan
memaafkan sebelum yang kita sakiti memaafkan kita. Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam pun sangat
hati-hati karena khawatir ada orang yang beliau sakiti. Khawatirkah
kita bila ada orang yang kita sakiti menuntut balas nanti di padang
Mahsyar di depan Hakim Yang Maha Agung ditengah miliaran umat
manusia? Jangan-jangan kita menjadi orang yang muflis. Na’udzu
billah…..

Nabi Muhammad sallAllahu ‘alayhi wasallam ketika saat haji Wada’, di padang Arafah yang terik,
dalam keadaan sakit, masih menyempatkan diri berpidato. Di akhir
pidatonya itu Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam dengan dibalut sorban dan tubuh yang menggigil
berkata, “Nanti di hari pembalasan, kalian akan ditanya oleh Allah
apa yang telah aku, sebagai Nabi, perbuat pada kalian. Jika kalian
ditanya nanti, apa jawaban kalian?”
Para sahabat terdiam dan mulai banyak yang meneteskan air mata. Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam melanjutkan, “Bukankah telah kujalani hari-hari bersama kalian dengan lapar, bukankah telah kutaruh beberapa batu diperutku karena menahan lapar bersama kalian, bukankah aku telah bersabar menghadapi kejahilan kalian, bukankah telah kusampaikan pada kalian wahyu dari Allah…..?” Untuk semua pertanyaan itu, para sahabat menjawab, “Benar ya Rasul!”

Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam pun mendongakkan kepalanya ke atas, dan berkata, “Ya Allah
saksikanlah…Ya Allah saksikanlah…Ya Allah saksikanlah!”
. Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam
meminta kesaksian Allah bahwa Nabi telah menjalankan tugasnya. Di
pengajian ini saya pun meminta Allah menyaksikan bahwa kita mencintai
Rasulullah sallAllahu ‘alayhi wasallam. “Ya Allah saksikanlah betapa kami mencintai Rasul-Mu,
betapa kami sangat ingin bertemu dengan kekasih-Mu, betapa kami
sangat ingin meniru semua perilakunya yang indah; semua budi
pekertinya yang agung, betapa kami sangat ingin dibangkitkan nanti di
padang Mahsyar bersama Nabiyullah Muhammad, betapa kami sangat ingin
ditempatkan di dalam surga yang sama dengan surganya Nabi kami. Ya
Allah saksikanlah…Ya Allah saksikanlah Ya Allah saksikanlah”

Catatan Kaki:
*)Nadirsyah Hosen Dewan Asaatiz Pesantren Virtual

muslimdelft.nl

Kamis, 22 Januari 2009

Konsep Nur Muhammad dalam Al Quran

Konsep Nur Muhammad dalam Al Quran


Bismilahirrahmanirrahim Walhamdulillah Wassholatu Wassalamu `Ala Rasulillah, Wa’ala Aalihie Washohbihie Waman Walaah amma ba’du…

PENGANTAR

Beberapa kalangan dalam ummat Islam mempersoalkan konsep Nur Muhammad (Cahaya Muhammad atau Ruh Muhammad) sebagai suatu konsep yang tidak memiliki dasar dalam ‘aqidah Islam. Padahal, konsep Nur Muhammad adalah suatu konsep ‘aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah yang diterima dan diakui oleh ijma’ (konsensus) ulama ilmu kalam dan ulama’ tasawwuf (awliya’ Allah) dalam kurun waktu yang panjang, sebagai suatu konsep yang memiliki sumber dalilnya dari Quran dan Hadits Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam. Konsep ‘aqidah Nur Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam menyatakan antara lain bahwa cahaya atau ruh dari Nabi Besar Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam adalah makhluq pertama yang diciptakan sang Khaliq, Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang kemudian darinya, Ia Subhanahu wa Ta’ala menciptakan makhluq-makhluq lainnya. Pada artikel ini, insha Allah akan dijelaskan, dalil-dalil qath’i (bukti yang pasti) berupa ayat-ayat Al Quran yang menyebutkan atribut Nabi sall-Allahu ‘alayhi wasallam sebagai Nur (cahaya) yang dikaruniakan Allah Ta’ala bagi segenap alam semesta. Akan kita dapati pula, penjelasan dari berbagai ulama ahli tafsir (mufassir) akan makna ayat-ayat tersebut.


================================

Allah Subhanahu wa Ta’ala sendirilah yang menyebut Rasulullah sall-Allahu ‘alayhi wasallam sebagai Nuur (cahaya), atau sebagai “Siraajan Muniiran” (makna literal: Lampu yang Bercahaya).

Hal ini dapat kita perhatikan dari ayat-ayat berikut:

1. dalam QS. Al-Maidah 5:15
قَدْ جَاءكُم مِّنَ اللّهِ نُورٌ وَكِتَابٌ مُّبِينٌ
“…Qad jaa-akum min-Allahi nuurun wa kitaabun mubiin”
“…Sungguh telah datang padamu dari Allah, nuur (cahaya) dan kitab yang jelas dan menjelaskan”

2. dalam QS.An-Nur 24:35
مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِن شَجَرَةٍ مُّبَارَكَةٍ زَيْتُونِةٍ لَّا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُّورٌ عَلَى نُورٍ

“…Matsalu nuurihi kamisykaatin fiihaa mishbaah, al-mishbaahu fii zujaajah; az-zujaajatu kaannahaa kaukabun durriyyun yuuqadu min syajaratin mubaarakatin zaituunatin laa syarqiyyatin wa laa gharbiyyatin yakaadu zaituhaa yudhii-u wa lau tamsashu naarun; nuurun ‘alaa nuurin…”

“…Perumpamaan cahaya-Nya adalah seperti suatu misykat (bundel) di mana di dalamnya ada suatu lampu, lampu itu ada dalam gelas, dan gelas itu seperti bintang yang berkelip, dinyalakan dari pohon yang terberkati, suatu zaitun yang tak terdapat di timur maupun di barat, yang minyaknya saja hampir-hampir sudah bercahaya sekalipun api belum menyentuhnya; cahaya di atas cahaya…”

3. dalam QS. Al-Ahzab 33: 45-46

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِداً وَمُبَشِّراً وَنَذِيراً

وَدَاعِياً إِلَى اللَّهِ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجاً مُّنِيراً

“Yaa Ayyuhan Nabiyyu inna arsalnaaka Syahiidan wa Mubassyiran wa Nadziiran. Wa Daa-’iyan ila-Allahi bi-idznihii wa Sirajan Muniiran“

“Wahai Nabi sesungguhnya Kami telah mengutusmu sebagai seorang Saksi, Seorang Pembawa kabar gembira, dan seorang Pemberi Peringatan, dan sebagai Seorang Penyeru (Da’i) kepada Allah dengan izin-Nya, dan
sebagai suatu Lampu yang menebarkan Cahaya“.

TAFSIR DAN INTERPRETASI AYAT

I. Mengenai ayat pertama (5:15)

- Qadi ‘Iyad berkata, “Beliau (Nabi) dinamai cahaya (Nuurun) karena kejelasan perkaranya dan karena fakta bahwa Nubuwwahnya (Kenabiannya) telah dijadikan amat jelas, dan juga karena menerangi cahaya orang-orang mukmin dan ‘arif billah dengan apa yang beliau bawa.”

- Suyuti dalam Tafsir al-Jalalayn, Fayruzzabadi dalam Tafsir Ibn ‘Abbas berjudul Tanwir al-Miqbas (hlm. 72), Shaykh al-Islam, Imam Fakhr al-Din ar-Razi, Mujaddid abad keenam, dalam Tafsir al-Kabir-nya (11:189), Qadi Baydawi dalam Tafsirnya yang berjudul Anwar al-Tanzil, al-Baghawi dalam Tafsir-nya berjudul Ma’aalim
al-Tanzil (2:23), Imam al-Shirbini dalam Tafsirnya berjudul al-Siraj al-Munir (hlm. 360), pengarang Tafsir Abi Sa’ud (4:36), dan Thana’ullah Pani Patti dalam Tafsir al-Mazhari-nya (3:67) berkata: “Apa yang dimaksudkan sebagai suatu Cahaya (Nuurun) adalah: Muhammad, sallalLahu ‘alayhi wasallam.”

- Ibn Jarir al-Tabari dalam Tafsir Jami’ al-Bayan-nya (6:92) berkata: “Telah datang padamu Cahaya (Nuurun) dari Allah: Ia maksudkan dengan Cahaya adalah: Muhammad, sallalLahu ‘alayhi wasallam, dengan mana Allah telah menerangi kebenaran, membawa Islam maju dan memunahkan kesyirikan. Karena itu beliau (Nabi) adalah suatu cahaya (nuurun) bagi mereka yang telah tercerahkan oleh beliau dan oleh penjelasannya akan kebenaran.”

- al-Khazin dalam Tafsir-nya (2:28) mengatakan serupa: “Telah datang padamu Cahaya (Nuurun) dari Allah bermakna: Muhammad, sallalLahu ‘alayhi wasallam. Allah menyebut beliau cahaya tidak dengan alasan apa pun melainkan karena seseorang terbimbing olehnya (Muhammad SallAllahu ‘alayhi wasallam) dengan cara yang sama seperti seseorang terbimbing oleh cahaya dalam kegelapan.”

- Sayyid Mahmud al-Alusi dalam tafsirnya berjudul Tafsir Ruhul Ma’ani (6:97) secara serupa berkata: “Telah datang padamu suatu cahaya (Nuurun) dari Allah: adalah, suatu cahaya yang amat terang yaitu cahaya dari cahaya-cahaya dan yang terpilih dari semua Nabi, sallalLahu ‘alayhi wasallam.”

- Isma’il al-Haqqi dalam komentarnya atas Alusi berjudul Tafsir Ruh al-Bayan (2:370) secara serupa juga berkata: “Telah datang padamu Cahaya (Nuurun) dari Allah dan suatu Kitab yang menjelaskan segala
sesuatu: dikatakan bahwa makna yang awal (yaitu NUUR) adalah Rasulullah, sallalLahu ‘alayhi wasallam, dan yang berikutnya (Kitabun Mubin, penerj) adalah Quran….

Rasulullah sallAllahu ‘alayhi wasallam disebut Cahaya (Nuurun) karena yang pertama yang dibawa keluar dari kegelapan kelalaian dengan cahaya dari kekuatan-Nya, adalah cahaya (Nuur) Muhammad, sallalLahu ‘alayhi wasallam, sebagaimana beliau (Nabi Sall-Allahu ‘alayhi wasallam) pernah bersabda: ‘Hal pertama yang Allah ciptakan adalah cahayaku.”

Riwayaat ini berkenaan dengan pertanyaan Jabir ibn ‘Abd Allah yang bertanya tentang apa yang diciptakan Allah pertama kali sebelum segala sesuatu lainnya.

Riwayat ini diriwayatkan oleh ‘Abd al-Razzaq (wafat 211H) dalam Musannaf-nya, menurut Imam Qastallani dalam al-Mawahib al-Laduniyya (1:55) dan Zarqani dalam Syarah
al-Mawahib (1:56 dari edisi Matba’a al-’amira di Kairo). Tidak ada keraguan akan Abd Razzaq sebagai rawi (periwayat Hadits). Bukhari mengambil 120 riwayat darinya, Muslim 400. Riwayat ini dinyatakan pula sahih oleh Abd al-Haqq ad-Dihlawi (wafat 1052), ahli hadits India, juga disebut oleh ‘Abd al-Hayy al-Lucknawi (wafat 1304 H) ahli hadits kontemporer India. Demikian pula oleh Al-Alusi dan Bayhaqi dengan matan [redaksi susunan kata hadits, penerj.] yang berbeda, dan juga oleh beberapa ulama lain.

Sebagai suatu catatan khusus adalah suatu fakta bahwa kaum Mu’tazili [kaum yang terlalu mengandalkan ra'yu atau logika akal, penerj.] berkeras bahwa Cahaya dalam ayat 5:15 merefer hanya pada Quran dan tidak pada Nabi. Alusi berkata dalam kelanjutan kutipan di atas: “Abu ‘Ali al-Jubba’i berkata bahwa cahaya/nuurun berkaitan dengan Quran karena Quran membuka dan memberikan jalan petunjuk dan keyakinan. al-Zamakhshari (dalam al-Kasysyaf 1:601) juga puas dengan penjelasan ini.” Penjelasan yang lebih dalam akan dua pendapat ini dijelaskan oleh Shah ‘Abd al-’Aziz al-Multani dalam al-Nabras (hlm. 28-29): “al-Kasysyaf memproklamasikan dirinya sebagai Bapak Mu’tazilaa… Abu ‘Ali al-Jubba’i adalah seperti Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab-nya kaum Mu’tazila Basra.” Kesamaan antara pendapat Mu’tazila dengan Wahhabi dan “Salafi” modern ditekankan oleh Imam Kawtsari di banyak tempat di kitab Maqalat-nya, di mana beliau menunjukkan bahwa seperti halnya Mu’tazilah, penolakan kaum Wahhabi (dan juga Salafi modern, penerj.) atas karakteristik awliya’ adalah kamuflase atas penolakan (karakteristik) yang sama dari diri para Nabi.

Ada suatu penjelasan yg patut dicatat di antara Ahlus Sunnah yang mendeskripsikan makna Nabi baik kepada Cahaya (Nuurun) maupun Kitab, al-Sayyid al-Alusi berkata dalam Ruh al-Ma’aani (6:97): “Saya tidak menganggapnya dibuat-buat bahwa yang dimaksud baik dengan Cahaya (Nuurun) maupun Kitabun Mubin adalah sang Nabi, konjungsi dengan cara yang sama seperti yang dikatakan al-Jubba’i (bahwa baik Cahaya maupun Kitab adalah Quran). Tidak ada keraguan bahwa dapat dikatakan semua merefer ke Nabi. Mungkin Anda akan ragu utk menerima ini dari sudut pandang ‘ibara (ekspresi); tapi cobalah dari sudut pandang ‘isyarah.”

- Al-Qari berkata dalam Syarah al-Shifa’ (1:505, Mecca ed), bahwa “Telah pula dikatakan bahwa baik Cahaya maupun Kitab merefer pada Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam, karena beliau adalah suatu cahaya yang cemerlang dan sumber dari segala cahaya, beliau adalah pula suatu kitab/buku
yang mengumpulkan dan memperjelas segala rahasia.” Ia juga berkata (1:114, Madina ed.): “Dan keberatan apa untuk mempredikatkan kedua kata benda itu pada Nabi, karena beliau secara hakikat adalah Cahaya yang Terang karena kesempurnaan penampilannya (tajallinya) di antara semua cahaya, dan beliau adalah suatu Kitab Nyata karena beliau mengumpulkan keseluruhan rahasia dan membuat jelas seluruh hukum, situasi, dan alternatif.”

II. Mengenai ayat kedua (QS. 24:35)

- Imam Suyuti berkata dalam al-Riyad al-Aniqa: Ibn Jubayr dan Ka’b al-Akhbar berkata: “Apa yang dimaksud dengan cahaya (nuurun) kedua (dalam ayat tersebut, penerj.) adalah Nabi sall-Allahu ‘alayhi wasallam karena beliau adalah Rasul dan Penjelas dan Penyampai dari Allah apa-apa yang memberi pencerahan dan kejelasan.” Ka’b melanjutkan: “Makna dari ‘Minyaknya hampir-hampir bercahaya’ adalah karena kenabian Nabi akan dapat diketahui orang sekalipun beliau tidak mengatakan bahwa beliau adalah seorang Nabi, sebagaimana minyak itu juga akan mengeluarkan cahaya
tanpa tersentuh api.”

- Ibn Kathir mengomentari ayat ini dalam Tafsir-nya dengan mengutip suatu laporan via Ibn ‘Atiyya dimana Ka’b al-Ahbar menjelaskan firman-firman Allah: “…yakadu zaytuha yudhi-u wa law lam tamsashu nar…”, sebagai bermakna: “Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam sudah hampir jelas sebagai seorang Nabi bagi orang-orang, sekalipun beliau tidak mengumumkannya.”

- Qadi ‘Iyad berkata dalam al-Syifa’ (edisi English p. 135): Niftawayh berkata berkaitan dengan kata-kata Allah: “…minyaknya hampir-hampir bercahaya sekalipun api tidak menyentuhnya…” (24:35): “Ini adalah perumpamaan yang Allah berikan berkaitan dengan Nabi-Nya. Ia berkata bahwa makna ayat ini adalah bahwa wajah ini (wajah Rasulullah SAW, pen.) telah hampir menunjukkan kenabiannya bahkan sebelum beliau menerima wahyu Quran, sebagaimana Ibn Rawaha berkata:

Bahkan jika seandainya tidak ada tanda-tanda nyata di antara kami,
wajahnya telah bercerita padamu akan berita-berita.”

- Di antara mereka yang berkata bahwa makna “matsalu nuurihi” — perumpamaan Cahaya-Nya — adalah Nabi Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam adalah: Ibn Jarir at-Tabari dalam Tafsir-nya (18:95), Qadi ‘Iyad dalam al-Syifa’, al-Baghawi dalam Ma’alim al-Tanzil (5:63) dalam catatan al-Khazin, dari Sa’id ibn Hubayr dan
ad-Dahhak, al-Khazin dalam Tafsir-nya (5:63), Suyuti dalam ad-Durr al-Mantsur (5:49), Zarqani dalam Syarah al-Mawahib (3:171), al-Khafaji dalam Nasim ar-Riyad
(1:110, 2:449).

- al-Nisaburi dalam Ghara’ib al-Quran (18:93) berkata: “Nabi adalah suatu cahaya (Nuurun) dan suatu lampu yang memancarkan cahaya.”

- al-Qari dalam Syarah al-Shifa’ berkata: “Makna yang paling jelas adalah untuk mengatakan bahwa yang dimaksud dengan cahaya (Nuur) adalah Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam.”

III. Mengenai ayat ketiga (QS. 33: 45-46)

- Qadi al-Baydawi berkata dalam Tafsir-nya: “Itu adalah matahari berdasarkan firman-Nya: “Telah Kami jadikan matahari sebagai suatu lampu”; atau, itu mungkin berarti suatu lampu”.

- Ibn Kathir menyatakan dalam Tafsirnya: “Firman-Nya: ‘…dan suatu lampu yang bersinar’, adalah: statusmu (Wahai Nabi, penj) nampak dalam kebenaran yang telah kau bawa sebagaimana matahari nampak saat terbitnya dan bercahaya, yang tak bisa disangkal siapa pun kecuali yang keras-kepala.”

- Raghib al-Asfahani dalam al-Mufradat (1:147) berkata: “kata itu (lampu) digunakan untuk segala sesuatu yang mencahayai.”

- al-Zarqani dalam Syarah al-Mawahib (3:171) berkata: “Beliau dinamai Lampu karena dari satu lampu muncul
banyak lampu, dan cahayanya tidak berkurang.”

- `Abd Allah ibn Rawaha al-Ansari cucu dari penyair Imru’ al-Qays berkata tentang Nabi sall-Allahu ‘alayhi wasallam:

law lam takun fihi ayatun mubina

lakana manzaruhu yunabbi’uka bi al-khabari

“Bahkan seandainya, tidak ada ayat (tanda) berkenaan dengan ia (SAW), yang nyata dan jelas

sungguh memandangnya saja sudah bercerita padamu akan khabar/berita”

Ibn Hajar meriwayatkannya dalam al-Isaba (2:299) dan berkata: “Ini adalah syair terindah dengan mana Nabi pernah dipuji.” Ibn Sayyid al-Nas berkata tentang Ibn Rawaha ini dalam Minah al-Madh (hlm.. 166):

“Ia terbunuh sebagai syahid di perang Mu’ta pada 8 JumadilAwwal sebelum Fathu Makkah (Penaklukan Makkah). Di hari itu ia adalah salah satu dari komandan. Ia adalah salah seorang dari penyair yang berbuat
kebaikan dan biasa menangkis segala bahaya yang menyerang Rasulullah. Adalah berkenaan dengan dia dan dua temannya Hassan (ibn Tsabit) dan Ka’b (ibn Zuhayr) yang disinggung dalam ayat “Kecuali mereka yang
beriman dan berbuat kebajikan dan bedzikir pada Allah sebanyak-banyaknya.” (As-Syu’ara 26:227).”

- Dan sebagai atribut dari Allah adalah Dzu al-Nur
yang berarti Sang Pencipta cahaya, dan Penerang langit dan bumi dengan cahaya-cahaya-Nya, juga sebagai Penerang qalbu orang2 mukmin dengan petunjuk/hidayah. Imam Nawawi berkata Syarah Sahih Muslim, dalam komentarnya atas doa Nabi yang dimulai dengan: “Ya Allah, Engkaulah Cahaya Langit dan bumi dan milik-Mu lah segala puji…” (Kitab Salat al-Musafirin #199):

“Para ulama berkata bahwa makna “Engkau adalah cahaya langit dan bumi” adalah: Engkaulah Dzat Yang menyinari mereka (langit dan bumi) dan Pencipta cahaya mereka. Abu ‘Ubayda berkata: “Maknanya adalah bahwa dengan cahaya-Mu penduduk langit dan bumi memperoleh hidayah.”

al-Khattabi berkata dalam komentarnya atas nama Allah an-Nur: “Itu berarti Ia yang dengan cahaya-Nya yang buta dapat melihat, dan yang tersesat dapat terbimbing, di mana Allah adalah cahaya langit dan bumi, dan adalah mungkin bahwa makna al-Nur adalah: Dzu al-Nur, dan adalah tidak benar bahwa al-Nur adalah atribut dari Zat Allah, karena itu hanyalah atribut dari aksi (sifatu fi’li), yaitu: Ia adalah Pencipta dari cahaya.” Yang lain berkata: “Makna cahaya langit dan bumi adalah: Sang Pengatur matahari dan bulan dan bintang-bintang mereka (langit dan bumi).”"

Penutup

“Kebenaran adalah dari Tuhanmu, dan janganlah kau termasuk mereka yang ragu” (kutipan maknawi dari Quran).

Sumber: Tulisan Maulana Shaykh Hisham Muhammad Kabbani dan Shaykh Dr. G.F. Haddad
------
muslimdelft.nl

Hargailah Nabimu sallAllahu ‘alayhi wasallam

Bismilahirrahmanirrahim Walhamdulillah Wassholatu Wassalamu `Ala Rasulillah, Wa’ala Aalihie Washohbihie Waman Walaah amma ba’du…

Khutbah al-Jumu’ah

Maulana Syaikh Hisyam Muhammad Kabbani

30 Agustus 2002

A’uudzu billahi minasy syaithanirrajiim
Bismillahirrahmanirrahim
Allahumma salli ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘ala aalihi wasahbihi ajma’in

Wahai Muslim, wahai orang-orang yang beriman, hari-hari berlalu, minggu dan pekan pun berlalu, bulan-bulan berlalu, tahun-tahun pun berlalu, dan setiap orang suatu hari nanti akan meninggalkan segala sesuatunya di belakangnya dan pergi… Tak seorang pun yang akan tertinggal di belakang. Apa pun yang berusaha kita lakukan, kita akan pergi dan meninggalkannya. Allah SWT-lah yang memiliki diri kita. Kita tidak memiliki diri kita sendiri. Allah SWT telah menciptakan kita dan Allah mencintai ciptaan-Nya.


Seseorang yang menulis suatu kaligrafi yang indah, tulisan atau seni yang indah, ia pun begitu bangga dengan apa yang telah ia hasilkan. Ia menginginkan orang untuk menyukainya pula, Ia ingin orang untuk menghargai dan mengapresiasinya pula, yaitu terhadap karya seninya. Dan kita sebagai Muslim, percaya bahwa Allah SWT telah menciptakan diri kita. Dan tentu saja, Allah SWT mencintai kita, dan tentu saja Allah SWT ingin kita untuk menghargai Diri-Nya yang telah menciptakan kita, dan Ia membawa kita ke kehidupan ini untuk mengenal-Nya, mengetahui Diri-Nya.

Allah SWT berfirman (dalam hadits Qudsi), “Kuntu kanzan makhfiyya, fa aradtu an u’raf fa khalaqtu al-khalq” “Aku adalah Harta yang tersembunyi, Aku ingin untuk diketahui maka Kuciptakan makhluq”. Allah menciptakan kita untuk mengenal-Nya. Maka, penghargaan itu, bahwa Allah SWT telah menciptakan kita ditunjukkan dengan jalan ibadah. Bagaimanakah kita akan menghargai seseorang? Seorang anak menghargai perbuatan baik ayah atau ibunya padanya, dengan menunjukkan cintanya pada mereka. Sang anak menunjukkan rasa hormatnya dan mendengarkan apa yang dikatakan oleh orang tuanya, khususnya bagi anak yang berbakti pada orang tuanya. Jadi, sebagai Muslim, kita pun berbakti kepada Allah SWT. Dan jalan terbaik untuk menunjukkan pada-Nya penghargaan kita tersebut, adalah dengan ibadah.

Dan Allah SWT berfirman, “Wa maa khalaqtu al-jinna wa l-insa illa liya’buduuni” “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” [QS 51:56]. Dan ibadah bisa dalam berbagai bentuk, di samping lima bentuk kewajiban yang harus kalian lakukan (dalam rukun Islam). Ibadah bisa ditunjukkan dengan berbagai cara yang berbeda: dengan mengunjungi orang yang sakit, dengan menolong orang lain, dengan melakukan sesuatu buat orang lain, membantu mereka dalam hidup mereka, membantu tunawisma, memberikan zakat, dan lain-lain. Inilah jenis-jenis penghargaan kita terhadap apa yang Allah SWT telah berikan pada kita.

Dan yang paling penting, hari ini, Allah SWT ingin kita untuk memberikan penghargaan dan apresiasi kita pada apa yang telah Ia ciptakan bagi kita. Dan Ia telah memilihnya untuk menjadi Yang Terbaik, untuk menyampaikan pesan-pesan Islam. Saya akan menunjukkan penghargaan bagi Nabi kita tercinta, Sayyidina Muhammad ‘alaihi afdalus salaatu wassalaam. Allah ingin kita menunjukkan penghargaan pada Nabi ‘alaihi afdalus salaatu wassalaam, karena “Man athaa’ar Rasuul faqad athaa’allah” “Barang siapa taat pada Rasul sungguh dia telah taat pada Allah” [1]. Allah telah menjadikan Nabi-Nya sebagai pintu gerbang, sebagai jembatan atau sebagai jalan raya bebas hambatan untuk mencapai Hadirat Allah. Jika kalian akan menyangkal jalan itu, yaitu “ittiba’ khuthar Rasuul” “mengikuti jejak langkah Nabi, maka itu berarti kalian tidak menghargai apa yang telah diberikan Allah SWT pada kita.

Dengan alasan itulah, Allah SWT berfirman dalam Quran Suci, “Innallaha wa malaa-ikatahu yushalluuna ‘alan Nabiy. Yaa Ayyuhal ladziina Aamanuu shallu ‘alaihi wasallimuu tasliiman.” “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” [QS 33:56]. Dia berfirman “Yaa Ayyuhal ladziina Aamanuu” “Wahai Orang Beriman” Dia mengkhususkan pada orang beriman (mu’min). Tidak setiap muslim adalah mu’min, tapi setiap mu’min adalah muslim. Muslim bisa menjadi seorang muslim, tapi mungkin ia tidak salat, ia mengatakan “Laa ilaaha illa-Allah Muhammadun Rasulullah”. Dia seorang Muslim. Kalian tidak bisa mengatakan padanya, “Kau bukan seorang Muslim”. Ia mungkin berbuat dosa dan dosa, dia meninggalkan salat, dan meninggalkan salat, tapi kalian tidak bisa mengatakan padanya, “Hei kamu bukan Muslim.” Tapi seorang Mu’min sejati adalah seorang Muslim sejati. Karenanya, Allah SWT berfirman, “Yaa Ayyuhal ladziina Aamanuu” “Kalian, kalian yang Mu’min, kalian tahu, dan kalian dapat menghargai apa yang telah Ku-berikan padamu, kalian tidak lagi berada di Taman Kanak-Kanak.” Seperti kita, Muslim, kita masih berada di Taman Kanak-Kanak, kita masih berusaha untuk belajar. Tapi, ketika kita telah mencapai tingkatan Iman, itu selesai. Kita tahu kini kewajiban kita, kita tahu tugas kita. “Maka, wahai Mu’min! Shalluu ‘alan Nabiy, Yaa Ayyuhal ladziina Aamanuu shalluu ‘alaihi” “Bersalawatlah bagi Nabi!” Ini suatu perintah! Karena dalam salawat atas Nabi ada barakah bagi kita.

Lihatlah apa yang Nabi sall-Allahu ‘alaihi wasallam katakan. “Fa ’anil Bara’ ibn ‘Azm r.a., annan Nabiyya sall-Allahu ‘alaihi wasallam qoola, ‘Man salla ‘alayya marratan’ “Barangsiapa yang mendoakan (bersalawat) untukku satu kali” dan ini adalah untuk Mu’min. Bagi mu’min ini adalah suatu tugas, suatu kewajiban. Untuk Muslim, kita masih berjuang sebagai Muslim, kita belum mencapai derajat Mu’min. Mu’min berarti ia yang telah mencapai derajat tertinggi dari Iman, kita tidak lagi berbohong, kita tak lagi menipu, tak lagi berkhianat. Muslim sedang berjuang untuk mencapai kesempurnaan dalam tingkatan iman. Beliau bersabda, “Man salla ‘alayya marratan” “Barangsiapa bersalawat atasku satu kali” “kataballahu ta’ala lahu ‘asyru hasanaat” “Allah akan menuliskan baginya sepuluh kebaikan” “Wa mahha ‘anhu ‘asyru sayyiaat” ”Dan Allah menghapuskan darinya sepuluh keburukan” “wa rafa’ahullah ‘asyru darajaat” “Dan Allah meninggikannya” Ke mana Allah SWT meninggikannya? Beliau mengatakan “meninggikannya” Ke mana? Ini berarti ada derajat-derajat yang Allah sediakan untuk meninggikan Mu’min, atau Muslim, saat mereka mengucapkan salawat atas Nabi, saat mereka mendoakan Nabi. Allah SWT meninggikannya “sepuluh derajat”. “wa kunna lahu adlu ‘asyru riqaab” “dan akan ada sepuluh derajat ini ketika ia melakukan salawat itu seakan-akan ia membebaskan sepuluh orang dari perbudakan”. Berapa banyak di zaman Nabi SAW terdapat perbudakan, saat mana Nabi SAW biasa membebaskan mereka dari perbudakan, dari siksaan tuan mereka? Berapa banyak orang menderita akibat perbudakan? “Seakan-akan ia telah membebaskan sepuluh budak.” Tidak hanya dari perbudakan, tapi juga dari api neraka. Itu hanya untuk satu kali salawat atas Nabi SAW.

“An ‘Aa-isyata radhiyallahu ‘anha” suatu hadist lain. Sayyidah ‘Aisyah ra berkata bahwa Nabi SAW bersabda, “Maa min ‘abdin salla ‘alayya salaatan” “Tidaklah seorang hamba bersalawat atasku satu kali” “illa kharaja bihaa malikun” ”melainkan seorang Malaikat akan keluar darinya” “yajii-u biha wajhur Rahman” “dan membawa salawat itu ke Hadirat Allah” “fa yaquulu Rabbuna Tabaraka wa Ta’ala” “maka Tuhanku Tabaraka wa Ta’ala akan berfirman pada malaikat yang membawa salawat atas Nabi itu” “idz-habu bihaa ilaa qabri ‘abdii” “bawalah salawat itu dan pergilah ke kubur hamba-Ku itu di masa depan di saat dia akan masuk ke kubur itu” “tastaghfiru li shaahibihaa wa tuqirru bihaa ‘aynuhu” Jika orang itu di dunia bersalawat satu kali atas Nabi SAW sebagaimana dikatakan ‘Aisyah ra, maka malaikat yang membawa salawat itu pergi ke hadirat Allah SWT, dan Allah akan mengatakan pada malaikat itu, “Jika hamba-Ku mati, bawalah salawaat itu dan pergi ke kuburnya. Salawat itu akan memintakan ampunan bagi hamba-Ku yang ada di kubur itu hingga ia akan berbahagia.” “Tuqirru bihaa ‘aynuhu” berarti matanya akan amat berbahagia atas apa yang akan ia terima sebagai balasan atas salawat yang telah ia lakukan.

Wahai Muslim, inilah cara menunjukkan penghargaan pada Allah SWT, sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Quran Suci kepada Nabi SAW, “qul la as-alukum ‘alayhi ajran illa l-mawaddata fi l-qurba” [QS 42:23]. Allah berfirman pada Nabi untuk mengatakan pada kita, “Katakanlah: ’Wahai Muslim aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas seruanku kecuali agar kalian menjaga keluargaku, agar kalian menjaga sukuku, agar kalian menjagaku’”. Dan bagaimanakah kita menunjukkan penghargaan kita dan menjaga Nabi? Kita tidak bisa menjaga beliau, beliaulah yang harus menjaga kita, tapi kita menunjukkan cinta kita pada beliau dengan salawat. Dan karena itulah, salawat itu akan menjadi penyelamat diri kita di Hari Penghakiman. “Man salla ‘alayya, wa jawad lahu syafaa’atii” “Barangsiapa bersalawat atasku Allah SWT akan memberiku kekuatan padaku untuk bersyafa’at baginya di hari Pembalasan”.

Ibn Dawud meriwayatkan dari Abu Bakr as-Shiddiq berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW dalam Haji Wada’ bersabda, ’Innallaha ‘azza wa Jalla qad wahaba lakum dzunuubakum ‘indal istighfar’” “Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla, qad wahaba lakum dzunuubakum” bermakna “Ia memberikan dosamu kembali kepadamu, berkata, ‘wahai hamba-Ku dosa ini kini ada ditanganmu sekarang. Beristighfarlah pada-Ku, dan Ku-ampuni dirimu. Kuberikan semua dosa ini padamu seakan-akan dosa itu tak pernah terjadi. Kau bisa menghapusnya dengan tanganmu’”. Dan itulah maknanya “qad wahaba lakum dzunuubakum ‘indal istighfar” Artinya secepat kalian beristighfar, Allah SWT akan menghapuskan seluruh dosa kalian. “fa man istaghfara bi niyyatin saadiqaa” “Dan barangsiapa memohon ampun bertaubat kepada Allah SWT dengan niyyat yang sungguh-sungguh” “ghufiro lahu” “Allah SWT akan mengampuninya”. “Wa man qoola Laa ilaaha ill-Allahu” “Dan barangsiapa pernah mengucapkan dalam hidupnya Laa ilaaha illallah” “rozaha l-miizaan” “timbangan kebaikannya di Hari Kiamat akan menjadi berat”. Artinya jika dosa kalian berat, saat kalian mengucap Laa ilaaha illallah di dunia, kebaikan kalian akan menjadi lebih berat. Selalu kebaikan kalian akan lebih berat dari dosa kalian. Lalu apakah cara yang mudah untuk mengucap Laa ilaha illallah? Mengapa orang-orang merasa sulit untuk mengucapkan Laa ilaha ill-Allah saat mereka mengendarai mobil mereka, setiap hari, saat menuju tempat kerja mereka? Apa sulitnya mengucapkan Laa ilaha ill-Allah? Buatlah lidah kalian selalu bergerak dengan dzikrullah! Dan beliau bersabda di akhir hadits, “Wa man salla ‘alayya” “Dan barangsiapa bersalawat atasku”, Sayyidina Muhammad alaihi afdalus salaati wassalam bersabda, “kuntu syafii’uhu yaumal Qiyamah” “aku akan menjadi perantaranya, aku akan minta pada Allah SWT untuk menyelamatkan orang itu di Hari Kiamat jika ia mendoakan dan memujiku”. “Wa man salla ‘alayya kuntu syafii’uhu yaumal Qiyamah” ”Siapa yaang memujiku dan mendoakan diriku, Allah SWT akan memberiku kekuatan untuk memohon-Nya untuk menyelamatkan orang itu dan mengirimkannya ke surga.”

Wahai Muslim, penghargaan, apresiasi, adalah indah, sebagaimana telah kami katakan di awal Jum’ah. Penghargaan atas apa yang telah diberikan Allah SWT kepada kita adalah indah dan baik. Dan karena itu Ia SWT berkata, “Untuk menghargai Diri-Ku yang telah menciptakanmu, hargailah utusan-Ku,” Sayyidina Muhammad ‘alaihi afdalus salaati wassalaam, “Melalui dia, dirimu dapat masuk surga. Tanpa dia, bagaimana dirimu dapat masuk ke dalam surga? Dia adalah Kekasih-Ku”. “Man athaa’ar Rasuul faqad athaa’allah” “Barang siapa taat pada Rasul sungguh dia telah taat pada Allah SWT.”

Dan akan saya akhiri, diriwayatkan oleh Tirmidzi (dalam sahihnya), “An Anas r.a. annan Nabiyya SallaAW qoola, ‘aulan naasi wubiya yaumal qiyaamati aktsaruhum ‘alayya sholaatan.’” “Orang pertama yang akan mendapat syafa’at dariku adalah ia yang bersalawat atasku paling banyak.” Beliau bersabda, “Aktsaruhum ‘alayya salaatan” “siapa yang PALING BANYAK bersalawat atasku selama hidup mereka”. Artinya siapa yang paling banyak melakukan salawat, akan menjadi yang pertama memperoleh syafa’at beliau. Yang paling banyak kedua melakukan salawat, akan menjadi yang kedua pula menerima syafa’at dari beliau SAW. Jadi, kalau ada yang mengatakan bahwa “bersalawat atas Nabi banyak-banyak” tidak pernah disebutkan, atau tidak diperbolehkan, tidak! Hal ini disebutkan dalam Sahih at-Tirmidzi. Beliau bersabda, “Mereka yang paling banyak bersalawat atasku, berlebihan dalam bersalawat atasku mereka akan menjadi yang pertama memperoleh syafa’atku”.

Wahai Muslim, itulah yang telah Allah SWT karuniakan pada kita dengan seorang Nabi yang beliau senang dan merasa paling terhormat untuk mengatakan, “Innii ‘Abdullah” “Aku adalah hamba Allah” ketika Allah SWT menceritakan tentang beliau, “Subhanalladzii asraa bi ‘abdihi” “Maha Suci Dia yang memperjalankan hamba-Nya” [QS 17:1]. Tak pernah Nabi SAW melampaui batas kehambaan ini. Beliau tahu batasan beliau. Dan seluruh Muslim di seluruh dunia, TAK PERNAH seorang Muslim pun, dengan salawatnya yang berlebihan dan banyak atas Nabi SAW, berpikir sekali pun, bahwa Nabi SAW lebih dari seorang hamba, seorang hamba yang sempurna bagi Tuhannya.

Wahai Muslim, berdoalah bagi Nabimu. “Sallu ‘alan Nabiy!”, bersalawatlah atas Nabimu. Dengan salawat atasnya, adalah seperti semerbak parfum yang wangi yang dengannya Allah SWT akan memakaikan padamu, pakaian kesempurnaan, pakaian parfum yang wangi, yang akan melepaskan diri kalian dari segala macam kesulitan.

Dan Insya Allah, di waktu lain, kita akan melanjutkan untuk menjelaskan betapa pentingnya pujian dan salawat atas Nabi, yang akan menyelamatkan diri kita dari segala kesulitan dan membuat Allah SWT mendukung diri kita, memberi kita berbagai macam rizki yang kita butuhkan dalam hidup kita.

Catatan kaki:
[1] Dalam Al Quran surat AN NISAA’ (4:80)
Man yuti’i r-rasuula faqad ataa’a Allah
“Barangsiapa yang menta’ati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menta’ati Allah.”

* Syekh Muhammad Hisyâm Kabbânî ialah penulis dan ulama yang terkemuka di dunia. Ia telah mengabdikan hidupnya untuk mengampanyekan prinsip-prinsip Islam seperti perdamaian, toleransi, dan penentangan ektremisme dalam segala bentuknya. Sang syekh dibesarkan dalam keluarga ulama yang terhormat. Di antara mereka ada yang pernah menjadi Ketua Persatuan Ulama Lebanon dan kini menjabat sebagai Mufti Agung Lebanon—yakni pemangku otoritas agama tertinggi negara itu.

Di Amerika, Syekh Kabbânî menjabat sebagai Ketua Dewan Tinggi Islam Amerika; pendiri Tarekat Naqsyabandi Amerika; Ketua Yayasan Al-Sunnah Amerika; Ketua Organisasi Wanita Islam Kamilat; dan pendiri serta Ketua The Muslim Magazine.

Syekh Kabbânî sangat piawai baik sebagai saintis Barat maupun pakar Islam klasik. Ia memperoleh gelar sarjana muda pada bidang kimia (American University in Beirut), dan mempelajari ilmu kedokteran (Catholic University of Leuven, Belgia). Di samping itu, ia juga menyandang gelar sarjana pada bidang hukum Islam (Universitas Al-Azhar cabang Damaskus, Syria), dan, atas izin dari Syekh ‘Abd Allâh Daghestani, mengajar, mengarahkan, dan membimbing para murid yang belajar spiritualitas Islam dari Syekh Muhammad Nâzim ‘Adil al-Qubrusî al-Haqqânî al-Naqsyabandî, pemimpin besar tarekat Naqsyabandî-Haqqânî.

Buku-buku yang pernah beliau tulis adalah: Remembrance of God Liturgy of the Sufi Naqshbandi Masters (1994); The Naqshbandi Sufi Way (1995); Angels Unveiled (1996); Encyclopedia of Islamic Doctrine (7 jilid, 1998); Encyclopedia of Muhammad’s Women Companions and the Traditions They Related (1998, bersama Dr. Laleh Bakhtiar); dan Classical Islam and the Naqshbandi Sufi Order (akan diterbitkan bulan November 2003).

Dalam usaha jangka panjangnya untuk memperkenalkan pemahaman yang lebih baik tentang Islam klasik, Syekh Kabbânî telah menyelenggarakan dua konferensi internasional di Amerika, dengan menghadirkan para pakar dari berbagai dunia muslim. Sebagai pembawa suara Islam tradisional, komentarnya dikutip oleh para wartawan, akademisi, maupun pejabat pemerintahan.

Kedudukan Nabi Muhammad sall-Allahu ‘alaihi wasallam di Hari Akhir

Bismilahirrahmanirrahim Walhamdulillah Wassholatu Wassalamu `Ala Rasulillah, Wa’ala Aalihie Washohbihie Waman Walaah amma ba’du…

oleh Maulana Syaikh Muhammad Nazhim ‘Adil Al-Haqqani*

Nabi terakhir di antara para Nabi, Sayyidina Muhammad, sall-Allahu ‘alaihi wasallam, adalah seseorang yang paling rendah hati di antara manusia; tak seorang pun mampu mencapai kerendahhatian beliau di Hadirat Ilahi. Kerendahhatian adalah sifat yang paling dicintai dari manusia di mata Allah Ta’ala. Hingga tingkat mana kita mampu berendah hati, sebanyak itu pulalah Allah akan meninggikan derajat kita lebih tinggi; semakin sombong seseorang di hadapan Tuhannya, sebanyak itu pulalah Tuhannya akan merendahkan derajatnya.

Allah Ta’ala meninggikan derajat kekasih-Nya Muhammad sallAllahu ‘alayhi wasallam hingga tingkatan tertinggi dalah Hadirat Ilahiah dan mempercayakan padanya pembagian tingkatan-tingkatan bagi seluruh manusia menurut kebutuhan mereka. Tingkatan-tingkatan dari berbagai Nabi dan Awliya’ juga telah dibagi dan diberikan oleh Muhammad sall-Allahu ‘alaihi wasallam, dan juga, bagi orang-orang beriman secara umum, tingkatan-tingkatan mereka dalam Iman telah diberikan pula oleh beliau. Allah Ta’ala telah menjadikan beliau sebagai wakil-Nya dalam menghakimi setiap makhluq, tapi beliau tak pernah menghakimi di luar batas wewenang itu – wewenangnya mungkin menjangkau setiap makhluq, tapi Allah Ta’ala adalah Hakim dari semua hakim dan Ia-lah Yang Menggenggam dalam Tangan-Nya penghakiman atas seluruh makhluq termasuk Muhammad sall-Allahu ‘alaihi wasallam. Grandsyaikh (‘Abdullah Fa-iz ad-Daghestani)** pernah berkata bahwa Allah Ta’ala mungkin akan membuka bagi Nabi-Nya hakikat menjadi hakim bagi seluruh makhluq di Hari Akhir nanti. Allah Ta’ala akan memberi beliau otoritas (wewenang) untuk menjadi hakim bagi seluruh orang yang berkumpul di Hari Akhir dalam Hadirat Ilahiah. Pada hari itu, wewenang Nabi untuk menghakimi akan muncul. Mengetahui hal ini adalah cukup untuk mengetahui kehormatan yang dimiliki Nabi kita, yang bersabda dalam sebuah hadits: “Pada hari itu, Adam dan seluruh para Nabi akan berada di bawah benderaku. Aku tidak mengatakan hal ini karena kesombongan, tapi hanya untuk memberitahu kalian agar kalian beriman pada apa yang diberikan Tuhanku padaku di Hari Akhir nanti; di hari itu seluruh Nabi akan berada di bawah benderaku atas perintah Allah Ta’ala, dan dengan perintah-Nya pula aku memberitahukan pada kalian agar kalian tahu derajat setiap orang dalam Hadirat Ilahiah.”

Saat ruh Adam mula-mula ditiupkan ke badannya, ia melihat ke atas ke ‘arasy (singgasana) Allah; kemudian ketika ia berbuat dosa di Surga dan Allah Ta’ala mengirimkannya ke bumi, ia memohon pada Tuhannya, “Wahai Tuhanku, demi kehormatan Muhammad, ampunilah aku.” Allah Ta’ala bertanya padanya, “Wahai Adam, bagaimana kau tahu akan Muhammad padahal ia belum diciptakan?” “Wahai Tuhanku, saat ruhku memasuki tubuhku dan aku mula-mula membuka mataku, aku melihat ke ‘arasy-Mu, dan di sana aku melihat tertulis, “Tak ada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan-Nya” (Laa ilaaha illallah, Muhammadun Rasulullah), dan aku pun tahu bahwa ia pastilah seseorang yang paling dicintai oleh-Mu Yang Mahatinggi dan yang paling terhormat di antara makhluq-Mu hingga namanya sampai tertulis di samping nama-Mu.” Allah Ta’ala menjawab Adam, “Ya, engkau benar, dialah kekasih-Ku, dan ia begitu terhormat dalam Pandangan-Ku hingga Ku-ciptakan seluruh alam semesta ini demi dirinya; jika engkau memohon pada-Ku ampunan demi dirinya, akan Ku-ampuni dirimu dan Aku pun akan Mengasihi anak-anakmu.”

Allah Ta’ala akan memberikan wewenang kepada Muhammad sall-Allahu ‘alaihi wasallam di Hari Akhir nanti. Di hari itu Allah akan menghakimi setiap orang, dan saat Ia telah selesai dengan keputusan-Nya, Ia akan memanggil Muhammad dan menempatkannya di kedudukan paling terpuji (al-Maqam-ul-Mahmud), yang tak seorang pun lainnya mampu meraihnya. Allah Ta’ala akan berfirman, “Mintalah, dan apa pun yang kau inginkan akan diberikan padamu, karena orang-orang itu kini menjadi tanggungan dari penghakimanmu.” Inilah makna dari salah satu ayat dalam Quran yang mengatakan bahwa Muhammad tidaklah diutus melainkan sebagai Rahmat (Kasih Sayang) bagi seluruh alam.

Sumber: buku Mercy Oceans Hidden Treasures

*Mawlana Syaikh Muhammad Nazhim ‘Adil al-Haqqani, dilahirkan 1922 di Cyprus, adalah seorang ‘aalim besar di zaman ini. Sebagai seorang Faqih (Ahli ilmu Hukum Islam) dalam Fiqh Mazhab Hanafi, beliau adalah pula Grand Mufti negeri Cyprus. Beliau juga merupakan pemimpin Tariqah Naqshbandi-Haqqani sedunia, dengan pengikut dan murid yang berjumlah jutaan, tersebar di segenap penjuru dunia. Di tangan beliau, ribuan (bahkan mungkin jutaan) orang, khususnya di Eropa dan Amerika kembali ke pangkuan Islam yang penuh kedamaian, Islam jalan tengah, Ahlussunnah wal Jama’ah. Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat-, barakah-, dan kasih sayang-Nya pada beliau. Aamin ya Rabbal ‘aalamiin.

**Grandsyaikh Mawlana Syaikh ‘Abdullah Faiz ad-Daghestani adalah guru pembimbing Mawlana Syaikh Nazim ‘Adil Al-Haqqani dalam meniti jalan tasawuf di tariqah Naqshbandi-Haqqani. Beliau wafat di tahun 1973. Dan sebelum wafatnya, beliau berdomisili di Damaskus. Terkenal di kalangan penduduk Damaskus sebagai seorang Waliyullah (kekasih Allah), yang kepadanya, para ulama Sham (para ulama di Syria dan Lebanon) berdatangan untuk menuntut ilmu keislaman pada levelnya yang tertinggi. Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat-, barakah-, dan kasih sayang-Nya pada beliau. Aamin ya Rabbal ‘aalamiin.

---
muslimdelft.nl

Samudra-samudra Pengetahuan Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam

Bismilahirrahmanirrahim Walhamdulillah Wassholatu Wassalamu `Ala Rasulillah, Wa’ala Aalihie Washohbihie Waman Walaah amma ba’du…

oleh Maulana Syaikh Muhammad Nazhim ‘Adil Al-Haqqani*

Subhanaka! Subhanaka! Subhanak! [ya Allah!]

Halaman-halaman baru. Halaman-halaman yang tak terbatas. Semua yang dimiliki Allah Yang Maha Agung adalah tak terbatas. Jika kalian mampu untuk menemukan suatu limit atau batas dari bilangan, kalian boleh untuk berbicara sedikit tentang karunia-karunia Allah Ta’ala. Karena itulah, Allah ‘Azza wa Jalla mengatakan bahwa seandainya samudera dan lautan menjadi tinta, dan pohon-pohon menjadi pena untuk menulis, maka itu semua hanya akan menjadi setitik zarah kecil dari pengetahuan surgawi yang dimiliki Allah Ta’ala. Dan tinta tersebut akan habis, bahkan jika seandainya kalian membawa tujuh samudera bukan hanya satu samudera.[1]

Bahkan seluruh samudera yang menjadi tinta itu akan habis dan kering, sedangkan pengetahuan dan ilmu yang Allah Subhanahu wa Ta’ala terus karuniakan pada Penutup Para Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam, tak akan pernah habis, karena beliaulah satu-satunya yang berbicara mewakili Allah Ta’ala – yang pertama! Allah Ta’ala tak pernah berbicara pada siapa pun yang lain dalam Hadirat Ilahiah-Nya kecuali pada dia yang paling terhormat di antara seluruh ciptaan, Sayyidina Muhammad sallAllahu ‘alayhi wasallam. Tak seorang pun mampu mendekati Hadirat Ilahi seperti Penutup para Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam. Allah Ta’ala mula-mula menciptakan ruhnya, ruhnya yang berkilau bercahaya, dan ruh tersebut adalah ‘nur’. Dan dari ‘nur’ tersebut, Allah menciptakan (segala sesuatu lainnya, red.)! Segala sesuatu diciptakan (oleh-Nya) dari ‘nur’ tersebut. Tak seorang pun atau apa pun mampu mencapai langsung esensi (Dzat) dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tak ada yang dapat mencapainya – tak mungkin. Hanya melalui Penutup para Nabi – ringkasan dan esensi dari seluruh ciptaan adalah bersama beliau sallAllahu ‘alayhi wasallam. Itu telah dikaruniakan pada beliau, dan karunia tersebut terus berlanjut bagi beliau tanpa berhenti, mengalir, tak pernah berhenti, tak pernah terputus!

A’udhu billahi mina-sh-shaitani-r-rajim, bismillahi-r-Rahmani-r-Rahim. La haula wa la quwatta illa billahi-l ‘aliyyi-l ‘adhim.

Sultan-ul-Arifin[2] Aba Yazid al-Bisthami, semoga Allah merahmatinya, (menasihati kita) untuk menjaga dan memelihara zikir mereka, untuk menjaga tetap mengingat mereka, untuk berusaha selalu bersama dengan para pewaris dari Penutup para Nabi, untuk berusaha agar ruh kalian (selalu) berada dalam samudera-samudera dari ruh-ruh suci mereka; karena setiap orang dari mereka – Awliya’ (para Waliyyullah – kekasih Allah), para pewaris dari Penutup para Nabi, para Grand Wali (Wali-wali besar) tersebut – telah dianugerahi samudera-samudera pula. Tetapi, samudera-samudera milik mereka, bahkan seandainya seluruh samudera milik para Nabi dan Wali dikumpulkan bersama dan disatukan, jika itu semua dibandingkan dengan apa yang telah dianugerahkan Allah Ta’ala pada Penutup para Nabi, yaitu Rasulullah sallAllahu ‘alayhi wasallam, seluruh samudera mereka itu hanyalah bagaikan setetes air yang menempel di ujung jarum ketika kalian mencelupkan jarum itu sesaat ke dalam suatu samudera. Hanya seperti itulah perbandingan seluruh samudera (milik para Nabi dan Wali) dengan samudera milik Penutup Para Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam. Dan seluruh Awliya’ dan para Wali, terutama Grand Wali, Grand Syaikh, orang-orang pada barisan pertama, yang dekat dengan Penutup para Nabi, Sayyidina Muhammad sallAllahu ‘alayhi wasallam, mereka mengambil secara langsung dari beliau dan mereka telah diberi lebih banyak dari yang lain. Dan ruh-ruh mereka tengah meminum ‘air’ dari samudera-samudera itu dan ruh-ruh mereka pun menjadi samudera-samudera. Ruh dari setiap orang dari mereka adalah bagaikan sebuah samudera dan hanya Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam yang mengetahui apa yang ada dalam samudera tersebut. Allah tentu saja mengetahui segala sesuatunya; tetapi, pada maqam [3] dari ciptaan (makhluq), apa yang telah dikaruniakan pada seluruh Nabi, dan demikian pula pada para Nabi-nabi besar, Awliya’ besar, Syaikh-syaikh besar – mereka yang berada pada saf pertama pewaris Rasulullah sallAllahu ‘alayhi wasallam – hanya Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam-sajalah yang mengetahuinya. Dan apa yang berada dalam samudera milik setiap orang, mereka mengetahuinya, demikian pula Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam mengetahuinya.

Karena itulah, mereka memiliki alam semesta-alam semesta, ‘awalim’, ciptaan-ciptaan dalam samudera-samudera mereka. Dan ciptaan tersebut adalah suatu karunia dari Penutup para Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam. Dan karunia Tuhannya bagi dirinya terus bertambah lebih banyak dan lebih banyak, dan karunia tersebut tidaklah tetap sama. Allah Ta’ala berfirman: “Wahai hamba-Ku yang tercinta! Wa ladaynaa maziid! [4] Aku memberi dan tak akan pernah berhenti. Apa yang Ku-karuniakan padamu tak akan pernah berakhir”. Karena itulah, apa yang dikaruniakan pada RasulAllah sallAllahu ‘alayhi wasallam ketika beliau bersama kita, tidaklah sama saat ini. Setiap detik, setiap tarikan nafas, karunia tersebut digandakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Karena itulah, ketika kami berkata tentang Aba Yazid al-Bisthami (r.a.): Jagalah Auliya’, berusahalah untuk berada bersama mereka, bahkan sekalipun hanya dengan nama-nama mereka dan dengan asosiasi/majelis mereka. Saat kita menyebut nama-nama mereka, suatu kasyf [5] atau pembukaan datang pada diri kita. Tidak kosong. Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam mengatakan bahwa saat kita menyebut orang-orang yang salih – para Wali, Grand Wali, para Nabi, Nabi-nabi Besar, dan Penutup para Nabi, ‘tanzil-ur-Rahmah’, rahmah dari samudera-samudera rahmah akan mendatangi diri kita. Karena itulah, ‘manakib-ul-aulia’ (pembacaan kisah para Wali) diadakan. Quran Suci menyebut pula nama-nama para Nabi, karena setiap kali kita menyebut nama mereka, rahmah yang berlimpah dari samudera-samudera rahmah mengaliri diri kita. Karena itulah, diulang berkali-kali (dalam Quran) akan apa yang terjadi pada Bani Israil, apa yang terjadi pada Sayyidina Adam, apa yang terjadi pada Sayyidina Nuh, apa yang terjadi pada Sayyidina Ibrahim dan pada Nabi-nabi lain. Ini adalah untuk menerima kemuliaan dari mereka, untuk mengambil bagian dari ‘nur’ mereka, dari cahaya-cahaya ilahiah milik mereka, agar datang pada dirimu. Dan ini adalah suatu persiapan bagi kalian untuk kehidupan abadi kalian, karena keabadian dapat menampung sebanyak apa pun yang telah dikaruniakan pada kalian, tanpa batas. Mereka yang berada pada (atau berusaha untuk) kehidupan abadi dan memiliki target untuk meraih keabadian, mereka boleh meminta lebih dan lebih – tak terbatas. Sama seperti suatu pesawat terbang yang tengah terbang melayang – semakin banyak petrol (minyak bahan bakar) yang kita isikan ke dalamnya, semakin lama ia akan terbang, tak pernah berkata ‘cukup’, tidak! Sebanyak yang kita isikan ke dalamnya, ia akan terus terbang. Dan ruh-ruh kita dalam Hadirat Ilahiah – jangan berpikir bahwa ruh-ruh terebut diam berhenti – mereka berlari dan berenang melalui samudera-samudera yang tak terkira banyaknya. Semuanya itu milik dari keabadian.

Karena itu, adalah suatu perintah – untuk melakukan suhbat, asosiasi – kalian harus menjaga jalur (hubungan) dengan mereka secara langsung. Hubungan itu akan mengalir melalui wujud sejatimu. Jangan berpikir bahwa ini (tubuh wadag kasar kita) adalah wujud kita yang sejati. Ini hanyalah suatu bayangan dari wujud sejatinya. Wujud sejati tersebut, dunia ini tak mampu menampungnya. Karena itulah, Pemimpin Malaikat Jibril (‘alayhissalam) kadang-kadang datang dalam bentuk seorang laki-laki, dan kita berkata Jibril (‘alayhissalam) baru datang. Apakah ia meninggalkan maqam (posisi)nya dan datang ke sini? Saat ia datang pada Nabi, apakah maqamnya kosong ia tinggalkan? Apakah ia datang dengan wujud sejatinya? Bagaimana mungkin? (Apa yang nampak datang) hanyalah perwakilan (dari wujud sejatinya), sebagai suatu bayangan dalam bentuk seorang laki-laki. Wujud sejatinya tak pernah bergerak ke sini dan ke sana dari Hadirat Ilahi. Tak pernah! “Tak seorang pun yang matanya dapat melihat ke sana-sini!” Apakah kalian pikir bahwa adalah wujud sejati Penutup para Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam yang pernah bersama kita (saat beliau hidup, red)? Bagaimana mungkin dunia ini dapat menampungnya? Seluruh ciptaan akan lenyap jika wujud sejati beliau termanifestasikan untuk eksis di sini. Tak ada lagi ciptaan, segala sesuatunya akan lenyap dalam samudera-samudera beliau, tak ada yang akan pernah muncul. Tetapi segala sesuatunya, melalui Hikmah Ilahiah, telah diatur dan diprogram. Tak seorang pun tahu bagaimana keadaannya dan bagaimana ia wujud, tidak! Kita berada pada maqam kedudukan kita, dan Firman Ilahiah datang mula-mula pada Rasulullah sallAllahu ‘alayhi wasallam dan kemudian pada kita. Jika seandainya Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam tidak menjadi perantara (mediator), Wahyu Ilahiah akan membakar segala sesuatunya di muka bumi ini.

[Syaikh membaca ayat]
“Kalau sekiranya Kami turunkan Al-Quraan ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir..” [Surat al-Hashr, 21]

Karena itulah, orang-orang jahil yang berpikiran sempit itu masih pula mengatakan bahwa Sayyidina Muhammad sallAllahu ‘alayhi wasallam hanya seperti seorang tukang pos – hanya membawa dan menyampaikan suatu pesan. Betapa bodohnya! Dan kebodohan ini kini menjalar ke seluruh dunia Islam, di Timur dan di Barat. Mereka sama sekali tak memahami hikmah diutusnya Sayyidina Muhammad sallAllahu ‘alayhi wasallam dan karunia Qur’an Suci bagi beliau. Gunung-gunung tak mampu memikul (beban ini); tapi, hanya kalbu dari ia yang paling berkilau bercahaya dan paling mulia-lah yang mampu untuk memikul berat dari Wahyu Ilahiah. Bagaimana mungkin kalian mengatakan bahwa ia telah habis dan mati sekarang, kemudian kita bisa bersama Allah tanpa Muhammad sallAllahu ‘alayhi wasallam? Kebodohan macam apa ini yang kini kita tengah berada di dalamnya?

Karena itu, begitu banyak masalah berdatangan pada orang-orang itu. Ya, memang ini adalah suatu samudera yang demikian dalam yang kami tengah coba untuk tunjukkan bagimu; kita tak mampu mencapainya. Aba Yazid al-Bisthami – semoga Allah merahmatinya, dan semoga cahaya-cahaya dari samuderanya menerangi kalbu-kalbu kita. Qalbu-qalbu yang bercahaya, itulah qalbu-qalbu yang hidup! Qalbu dan hati yang tak bercahaya, itulah hati yang mati, qalbu yang terkunci. Karena itulah, qalbu-qalbu dari begitu banyak ulama besar tengah terkunci. Mereka tidak memahami apa yang kalian katakan. Terkunci! Allah membuka qalbu dan hati kita pada Awliya’-Nya. Kita memohon agar saat kita berbicara tentang Awliya’, agar mereka mengaruniakan pada kita sesuatu, yang sesuai dengan kebutuhan kita. Karena itu, inilah yang disebut ‘rabithah’ – koneksi dari qalbu ke qalbu. Saat kalian melakukan ‘rabitah’ [6], cahaya-cahaya Ilahiah yang dianugerahkan pada Wali tersebut, Grand Wali, atau Nabi, atau Grand Nabi, atau Khatm ul-Anbiya’ [7], akan mengalir melalui qalbu kalian, dan kalian akan tercahayai olehnya.

Saat kita melihat ke langit di waktu malam, kita melihat bintang-bintang yang bercahaya; tapi, ada pula miliaran bintang yang tidak bercahaya, karena ‘nur’ itu tidak datang pada mereka. Dan hal ini serupa pula pada manusia. Makhluk-makhluk Langit tengah melihat manusia dan memperhatikan siapakah di antara manusia tersebut yang bercahaya dan berkilau – sama seperti ketika kita melihat bintang-bintang yang berkilau di langit. Karena itu, ‘rabitah’, koneksi, hubungan, adalah medium yang paling penting untuk meraih cahaya-cahaya surgawi. Siapa yang menyangkal hal ini akan terputus, tak ada cahaya yang datang ke qalbu mereka – habis! Orang-orang, karena itu, kini tengah berada dalam kegelapan, karena mereka tidak memiliki hubungan dengan ‘orang-orang langit’ atau dengan hamba-hamba Allah yang bercahaya yang hidup di dunia ini di antara kita. Kebanyakan orang kini tidak peduli lagi, mereka tidak tertarik, dan mereka senang untuk hidup dalam kegelapan mereka, dalam ‘dunya’ mereka yang gelap. Sama seperti burung-burung malam (kelelawar) yang senang untuk berada dalam kegelapan malam. Mereka tak suka untuk keluar di siang hari, karena mereka tak menyukai cahaya. Dan kini, 99% orang-orang di bumi tidak mau mencari cahaya-cahaya surgawi agar diri mereka pun bercahaya, dan mereka pun senang berada dalam dunia yang gelap, dalam suatu atmosfer yang gelap. Karena itulah mereka melakukan begitu banyak hal, yang jika mereka dapat melihatnya, tentu mereka tak akan mau melakukannya. Jika hati mereka tercahayai, mereka tak akan berkelahi, tak akan bertengkar dan tak akan mengeluh. Mereka akan berbahagia dengan apa yang telah dikaruniakan pada mereka dari Sang Pencipta, Rabb as-Samaawaati. Tapi, kegelapan telah mencegah dan menghindarkan mereka dari mencapai titik itu, karena mereka tak mau mencari hubungan ke dunia spiritual (ruhaniyya) atau hubungan dengan spiritualitas dan makhluq-makhluq surgawi di muka bumi atau di langit. Itulah masalahnya. Semua orang-orang yang hidup dalam atmosfer gelap ini, yang tak mau meminta hubungan dengan makhluk-makhluk surgawi, dengan wujud spiritual makhluk-makhluk itu, semua orang-orang ini adalah pembuat masalah.

Semoga Allah mengampuni saya, dan memberikan pada kita pemahaman yang baik, karena ini adalah suatu hal penting yang mesti diketahui bangsa-bangsa. Seluruh bangsa dan negara telah memutuskan hubungan mereka dengan makhluk-makhluk langit, mereka menyangkal keberadaannya, mereka menyangkal kenabian (nubuwwah) dan kewalian (wilayah), dan segala sesuatunya yang terkait dengan Langit, dan mereka terjatuh dalam dunia yang gelap. Dunia gelap, ke mana pun mereka berlari, mereka hanya akan menjumpai kegelapan dan masalah.

Allah! Allah! Ya Rabb! Ampuni kami, Ya Rabb! Kami memohon ampun dan maaf dan barakah-Mu. Demi kehormatan dari ia yang paling terhormat dalam Hadirat Ilahiah-Nya, Nabi Muhammad sall-Allahu ‘alaihi wasallamal-Faatihah!

===============

Catatan Kaki
[1] Quran Surat Al-Kahfi (18) ayat 109
[2] Sultanul ‘Arifin bermakna pemimpin dari mereka yang mengenal Allah; suatu gelar yang lazim dinisbatkan pada Syaikh ‘Aba Yazid al-Bistami
[3] maqam secara literal bermakna stasiun atau kedudukan, posisi seseorang di Hadirat Ilahi
[4] Wa ladayna maziid, secara literal bermakna dan di sisi Kami selalu bertambah. Karunia Allah SWT bagi Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam selalu bertambah setiap saat.
[5] kasyf adalah suatu terminologi dalam ilmu tasawwuf yang bermakna tersingkapnya hijab antara seseorang dengan kegaiban.
[6] rabithah, secara literal bermakna ikatan; suatu istilah ilmu tasawwuf melukiskan ikatan hati karena cinta suci, antara seorang murid dengan Syaikh Mursyid pembimbingnya
[7] Khatm ul-Anbiya’ bermakna Penutup para Nabi atau Stempel para Nabi, suatu gelar bagi Rasulullah Muhammad sallAllahu ‘alayhi wasallam

*Mawlana Syaikh Muhammad Nazhim ‘Adil al-Haqqani, dilahirkan 1922 di Cyprus, adalah seorang ‘aalim besar di zaman ini. Sebagai seorang Faqih (Ahli ilmu Hukum Islam) dalam Fiqh Mazhab Hanafi, beliau adalah pula Grand Mufti negeri Cyprus. Beliau juga merupakan pemimpin Tariqah Naqshbandi-Haqqani sedunia, dengan pengikut dan murid yang berjumlah jutaan, tersebar di segenap penjuru dunia. Di tangan beliau, ribuan (bahkan mungkin jutaan) orang, khususnya di Eropa dan Amerika kembali ke pangkuan Islam yang penuh kedamaian, Islam jalan tengah, Ahlussunnah wal Jama’ah. Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat-, barakah-, dan kasih sayang-Nya pada beliau. Aamin ya Rabbal ‘aalamiin.

-----
muslimdelft.nl